Jumat, 17 September 2010

PENGADILAN DAN PERADILAN

1

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dalam kehidupan masyarakat manusia, mulai dari komunitas kecil yang sederhana sampai dengan pergaulan antar bangsa, terdiri atas sekumpulan perseorangan atau kelompok (keluarga, marga, etnik, dan bangsa). Mereka memiliki kepribadian yang beraneka ragam. Demikian pula tradisi, kemampuan, keahlian, profesi dan kepentingan mereka beraneka ragam. Bahkan dalam pergaulan antar bangsa, mereka diatur dan diikat oleh hukum masing-masing negaranya. Keanekaragaman tersebut dalam masyarakat Indonesia, mencerminkan masyarakat yang majemuk baik secara vertikal maupun horisontal. Oleh karena itu, tatanan hukumnya pun bersifat majemuk.

Dalam penataan hubungan di antara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak. Dalam wujudnya yang lebih konkret patokan tingkah laku itu dikenal sebagai hukum, yang berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman.

Oleh karena setiap orang atau kelompok memiliki kepribadian, tradisi, kemampuan, profesi, kepentingan, dan patokan tingkah laku yang beraneka ragam, maka hal itu dapat menjadi sumber perselisihan, pertentangan dan persengketaan di antara mereka. Dalam kenyataannya terjadi perselisihan dan persengketaan, bahkan pelanggaran terhadap hukum yang telah disepakati. Di samping itu, pertentangan antar kelompok baik secara fisik maupun secara politik tidak dapat dihindarkan.

Keadaan yang demikian itu tidak dapat dibiarkan terus berlanjut, karena akan menggangu ketertiban bersama dan menimbulkan ketidaktentraman masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengendali kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan, persengketaan, dan bentuk-bentuk pertentangan lainnya sehingga hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat diperoleh atau, ketertiban dapat diwujudkan dalam kehidupan bersama dan masing-masing memperoleh ketentraman.

Berkenaan dengan hal itu terdapat berbagai cara dan proses dalam penyelesaian perselisihan dan persengketaan. Cara pertama dilakukan oleh kedua belah pihak secara sukarela. Cara kedua dilakukan oleh kedua belah pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga sebagai perantara atau juru damai. Cara ketiga dilakukan dengan paksa kepada kedua belah pihak oleh kekuasaan masyarakat atau kekuasaan negara. Ketiga cara itu dipandang sebagai pilihan yang terbaik menurut nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian dilakukan secara terus-menerus, disosialisasikan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.[1]

Penyelesaian perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan negara dilaksanakan oleh badan peradilan, yang memiliki kemampuan untuk bertindak dan memaksakan putusannya kepada para pihak dengan menggunakan sistem sanksi tertentu.[2] Dalam penegakan hukum dan pengadilan bagi masayarakat bangsa, peradilan memiliki peranan yang menentukan tuntutan terhadap peranan yang dapat dimainkan oleh badan peradilan semakin meningkat, karena perbedaan keahlian dan profesi semakin beragam, yang memberi peluang terjadinya kesenjangan sosial dalam berbagai bidang. Hal itu menunjukkan bahwa posisi dan tuntutan terhadap peranan peradilan sejalan dengan perkembangan masyarakat.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang itu maka dalam makalah ini, akan dibahas lebih jauh mengenai peradilan dan pengadilan. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana memaknai konsep peradilan dan pengadilan serta perbedaan keduanya?

2. Bagaimana prinsip dan unsur peradilan ?

3. Bagaimana susunan dan kewenangan badan peradilan yang ada di Indonesia dan dasar hukumnya?

III. Sistematika Pembahasan

Makalah ini terdiri dari tiga bagian yaitu : I. Pendahuluan, II. Pembahasan, III. Penutup. Bagian pertama adalah pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan. Bagian kedua pemakalah membahas bagaimana pengertian peradilan dan pengadilan, prinsip dan unsur peradilan serta susunan dan kewenangan badan peradilan yang ada di Indonesia dan dasar hukumnya. Bagian ketiga penulis menutup dengan mengemukakan kesimpulan dari penulisan makalah. Bagian akhir, makalah ini penulis melengkapi dengan daftar pustaka sebagai rujukan.

B. PEMBAHASAN

1. Memaknai konsep Peradilan dan Pengadilan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara. Adapula yang menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dan pengadilan.[3] Menurut penulis, sebaiknya makna peradilan dan pengadilan dibedakan, karena kedua kata itu meskipun berasal dari akar kata yang sama tapi mempunyai perbedaan dalam pengertian dan fungsinya.

Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh) menggunakan istilah al-qadā untuk peradilan dan mahkamah al-qadā’ bagi pengadilan sedangkan qādi adalah hakim. Al-qadā secara etimologis mengandung arti musytarāk (banyak arti bukan tunggal). Muhammad Salam Madkur memberi tiga arti kata al-qadā; yaitu, pertama al-Farāg berarti putus atau selesai. Kedua al-Adā’a berarti menunaikan atau membayarkan dan Ketiga, al-bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut ulama Fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa istilah peradilan atau al-Qadhā adalah al-Ikhbār ‘an hukm syar’ī ‘ala sabīl al-Izām, artinya menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.[4]

Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadā” yang berarti memutuskan, melaksanakan dan menyelesaikan”.[5] Selanjutnya dikemukakan oleh T.M. Hasbi Ash Shiddeqy, bahwa yang dimaksud dengan al-Qadā adalah “kekuasaan mengadili perkara”[6]

Dalam Ensiklopedi Indonesia jilid 5, pengadilan adalah “badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus dan mengadili perselisihan-perselisihan hukum. Semua putusan pengadilan diambil atas nama Republik Indonesia” atau “atas nama keadilan”. Sedangkan peradilan tidak ditemukan rumusannya. Begitu pula dalam kamus hukum hanya ditemukan kata pengadilan, yakni dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan keputusan mengenai persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau Undang-undang dan sebagainya.[7]

Dalam ilmu hukum, peradilan dijelaskan oleh para sarjana hukum Indonesia sebagai terjemahan dari rechspraak dalam bahasa Belanda. Menurut Mahadi, peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu putusan. Proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara. Sedangkan pengadilan menunjuk kepada suatu susunan instansi yang memutus perkara. Dalam menjalankan tugasnya pengadilan menjalankan peradilan.[8]

Dalam disertasi Abdul Gani Abdullah, dikemukakan pandangan Leimare, Van Kan dan Soedikno yang kemudian disimpulkan, bahwa peradilan adalah “kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan suatu perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan”. Kesimpulan itu dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 dan dirumuskan berdasarkan unsur-unsur peradilan. Menurut Zaini Ahmad Noeh, kata peradilan bermakna “daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Sedangkan pengadilan berarti “tempat dimana dilakukan peradilan yakni majelis hukum atau mahkamah.[9]

Berdasarkan rumusan-rumusan itu, dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.

2. Prinsip - Prinsip Peradilan

a. Peradilan yang bebas, tidak memihak (Independen)

Tujuan sistem konstitusionalisme adalah adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan badan-badan legislatif dan eksekutif. Hal ini mendapat tempat dalam UUD 1945. Oleh karenanya peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan jaminan konstitusional. Hal itu merupakan ketentuan undang-undang dasar yang tidak saja melarang setiap campur tangan, instruksi tetapi bahkan juga rekomendasi dari eksekutif dan legislatif terhadap yudikatif dalam melaksanakan tugas-tugas peradilannya. Para hakim hendaknya memiliki kemampuan ketrampilan dan mental sedemikian rupa agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan penuh kebebasan intelektual serta integritas moral.[10]

b. Pelaksanaan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

Peradilan membutuhkan tenaga-tenaga personil, seperti pejabat-pejabat badan peradilan yang mendukung tugasnya dalam melaksanakan peradilan, juga dibutuhkan perlengkapan materil dan finansial. Sederhana maksudnya pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien, sedang biaya ringan maksudnya biaya yang dapat dijangkau oleh rakyat. Dengan adanya hal tersebut, peradilan dapat mewujudkan pelaksanaan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.[11]

c. Peradilan bersifat demokratis

Pemeriksaan persidangan dan pengumuman keputusan-keputusan perkara di depan umum oleh pengadilan, yang ditentukan sebagai suatu syarat di dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman nomor 14 tahun 1970, merupakan suatu komunikasi antara pengadilan dan masyarakat, karena diletakkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam jalannya peradilan. Prinsip ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat, bahkan merupakan suatu hak bagi masyarakat untuk mengikuti prosedur persidangan pengadilan dan dengan cara ini masyarakat melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan.[12]

d. Transparansi dan kontrol sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.[13]

e. Persamaan dalam Hukum

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus. Hal tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum tertentu yang kondisinya terbelakang.[14]

3. Unsur Peradilan

Untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, sebagaimana dituliskan dalam literatur fiqih diperlukan adanya enam unsur, yakni:[15]

a. Hakim atau Qadhi

Orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.

Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.

b. Mahkum Bihī, suatu hak.

c. Mahkum Alaih, yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya.

d. Mahkum Lahū, yaitu orang yang menggugat suatu hak.

e. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).

4. Susunan Badan Peradilan dan Dasar Hukumnya

UUD 1945 menyebut “Badan Peradilan” dengan “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman”, ketiganya sama maksudnya dan searti. Pasal 24 yaitu:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.”

Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Nomor 14 tahun 1970 dan UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman” dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 yaitu:

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dan ia mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis fungsional yudikatif), artinya dibidang memeriksa dan mengadili perkara, maka susunan Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut:[16]

1. Lingkungan peradilan umum adalah Pengadilan Negeri (disingkat PN), Pengadilan Tinggi (disingkat PT), dan Mahkamah Agung (disingkat MA).[17]

2. Lingkungan peradilan agama adalah Pengadilan Agama (disingkat PA), Pengadilan Tinggi Agama (disingkat PTA), dan Mahkamah Agung (disingkat MA).[18]

3. Lingkungan peradilan militer adalah Mahkamah Militer (disingkat Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (disingkat Mahmilti) dan Mahkamah Militer Agung (disingkat Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung.

4. Lingkungan peradilan tata usaha negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (disingkat PTTUN) dan Mahkamah Agung.[19]

PN, PA, Mahmil dan PTUN disbut pengadilan tingkat pertama karena ia adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing.

PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut pengadilan tingkat banding karena ia menerima perkara bandingan yang berasal dari pengadilan tingkat pertama pada lingkungannya masing-masing. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut juga judex facti, artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan diperiksa secara keseluruhan, baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti dan lain sebagainya seperti pemeriksaan selengkapnya di muka pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Agung tidak melakukan judex facti, karena Mahkamah Agung tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja.

Apa yang diuraikan itu adalah menyangkut susunan badan-badan peradilan dalam bidang penyelesaian perkara (teknis fungsional yudikatif). Selanjutnya akan diuraikan susunannya di dalam bidang organisatoris, administratif dan finansial

Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan finansial sendiri, tetapi masing-masing lingkungan dari empat lingkungan peradilan, maka organisatoris, administratif, dan finansialnya berada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Dengan demikian, susunannya adalah sebagai berikut:

Untuk lingkungan peradilan umum (PN dan PT) ke Departemen Kehakiman, lingkungan Peradilan Agama (PA dan PTA) ke Departemen Agama, lingkungan Peradilan Militer (Mahmil dan Mahmilti) ke Departemen Pertahanan dan Keamanan dan ke Panglima Angkatan Bersenjata (PANGAB), lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN dan PTTUN) ke Departemen Kehakiman.[20]

Kini telah diundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru. Kalau semula ada 4 (empat) pelaksana Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kini menjadi lima ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.[21]

Dalam salah satu pasalnya juga disebutkan bahwa “segala campur tangan dalam urusan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang.”[22]

Tentang penangkapan dinyatakan “tidak seorang pun dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang.”[23]

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.[24]

Badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.[25]

Adapun tentang wewenang Mahkamah Konstitusi (karena ini baru) perlu disebutkan bahwa:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:[26]

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;

c. Memutus, membubarkan Partai Politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2. Selain kewenangan sebagaimana maksud pada ayat 1 (satu) , Mahkamah Konstitusi Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau wakil Presiden.

Adapun tentang pembinaan dinyatakan bahwa:

1. Organisasi, Administrasi, dan Finansial Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

2. Organisasi, Administrasi, dan Finansial Mahkamah Konstitusi berada dibawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

3. Ketentuan Mengenai Organisasi, Administrasi, dan Finansial Badan Peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.[27]

5. Cakupan Kekuasaan Pengadilan

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, pengadilan militer dan peradilan tata usaha negara, yang berpuncak pada Mahkamah agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan itu, memiliki cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili itu, ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kekuasaan pada masing-masing lingkungan peradilan terdiri atas:[28]

a. Kompetensi relatif

Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu peradilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Kompetensi absolut

Kekuasaan mutlak pengadilan berkenaan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.

Dalam konteks hukum Islam, peradilan (al-qada’) berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutuskan ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan dalil syar’i. Muhammad Salam Madkur mendefinisi kata putus atau keputusan yang mengikat yang bersumber dari pemerintah atau ketentuan-ketentuan dari hukum syar’i dengan cara memberikan ketetapan. Atas dasar itu menurut ahli fiqh kontemporer dari Mesir ini, maka lembaga al-qadā tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan hukum baru yang belum ada di dalam Alqur`an dan Sunnah, baik secara sārih (eksplisit) maupun isyarat.[29]

Selanjutnya akan dijelaskan lebih jauh mengenai tugas dan wewenang dari masing-masing badan peradilan.

1. Pengadilan Umum

Pengadilan Umum termasuk badan pengadilan yang menguruskan segala perkara hukum (baik pidana maupun perdata) yang terjadi di kalangan penduduk sipil. Pengadilan Umum mempunyai tingkatan sebagai berikut:

a. Pengadilan Negeri

Pengadilan negeri sehari-hari yang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk (warganegara dan orang asing). Perkara-perkara diadili oleh seorang hakim yang dibantu oleh seorang panitera. Daerah hukum pengadilan ini pada dasarnya meliputi satu daerah tingkat kabupaten/kota. Pada Pengadilan Negeri ada seorang Ketua, seorang Wakil Ketua dan beberapa orang hakim dan panitera. Pengadilan Negeri dibentuk oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah Agung.[30]

b. Pengadilan Tinggi

Pengadilan Tinggi ialah pengadilan banding yang mengadili pada tingkat kedua (tingkat banding) sesuatu perkara perdata dan perkara pidana, yang telah diadili atau diputuskan oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama. Pemeriksaan di sini hanya atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja, kecuali bila diperlukan pengadilan Tinggi untuk langsung mendengarkan para pihak yang berperkara. Adapun kekuasaan mengadili Pengadilan Tinggi ialah:[31]

1) Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam derah hukumnya.

2) Memberi pimpinan kepada Pengadilan-pengadilan Negeri di daerah kekuasaannya.

3) Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya peradilan itu diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.

4) Perbuatan hakim Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya diawasi dengan teliti.

c. Mahkamah Agung

Berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI). Susunannya terdiri dari seorang ketua, ketua muda dan wakil ketua MA baik yudisial atau non yudisial, dibantu oleh panitera. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda bertindak sebagai penuntut umum. Mahkamah Agung dapat mengambil putusan dengan tiga orang Hakim Agung. Hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas usul DPR melalui Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.

Tugas Mahkamah Agung ialah:[32]

1) Memutuskan dalam pemeriksaan pertama dan tingkat tertinggi perselisihan-perselisihan jurisdiksi.

2) Memberi kasasi atau membatalkan keputusan Hakim yang lebih rendah.

3) Memberi keputusan dalam tingkat banding atas keputusan-keputusan wasit (Pengadilan wasit atau Pengadilan Arbiter ialah peradilan swasta yang terdapat dalam dunia perdagangan dan yang diakui oleh Pemerintah).

4) Mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan.

5) Mengadakan pengawasan tertinggi atas pengacara-pengacara dan notaris-notaris.

6) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah.

2. Pengadilan Agama

Pengadilan Agama ialah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutuskan perkara yang timbul antara orang-orang yang beragama Islam tentang soal nikah, talak rujuk, perceraian, nafkah dan lain-lain. Pengadilan Agama juga mempunyai Pengadilan Tinggi Agama sebagai upaya banding dalanm suatu perkara, dan juga dapat mengajukan kasasi pada tingkat di atasnya yaitu Mahkamah Agung.Pengadilan Tinggi Agama tugasnya sama dengan Pengadilan Tinggi Negeri, hanya bedanya pada objek hukumnya.

3. Pengadilan Administrasi atau Pengadilan Tata Usaha Negara

Badan peradilan yang memeriksa dan memutuskan segala perkara yang menjadi persoalan tata usaha Pemerintahan. Berdasarkan Undang-undang No.14 Tahun 1970 pasal 10 ayat 1 dan juga pasal 12 yang menghendaki adanya Udang-undang organik yang mengatur susunan, kekuasan, hukum acara dari badan peradilan agama yakni diantaranya tentang tata usaha negara.[33] Apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan pada Pengadilan Tata Usaha Negara, maka perkaranya dapat dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai upaya banding dan juga dapat dilakukan upaya kasasi pada tingkat Mahkamah Agung.

4. Pengadilan Militer

Badan peradilan ini bertugas mengadili para anggota ABRI dan mereka bertugas atau kedudukannya disamakan dengan militer. Bila kejahatan atau pelanggaran itu dilakukan oleh seorang ABRI dan orang sipil, kemungkinan perkaranya dapat diperiksa oleh Pengadilan Umum. Pengadilan Militer terdiri dari:[34]

a. Pengadilan Militer Tentara

Daerah wilayah pengadilan ini pada umumnya disesuaikan dengan daerah hukum Pengadilan Negeri. Pengadilan ini terdiri dari seorang ketua atau ketua pengganti, dua Hakim perwira, Oditur dan Panitera. Hakim Perwira serendah-rendahnya harus berpangkat Kapten dan tidak boleh lebih rendah dari kepangkatan tertuduh. Oditur adalah jaksa militer yang bertugas melakukan tunututan terhadap tertuduh. Tugas Pengadilan ini mengadili para anggota ABRI yang melakukan kejahatan, pelanggaran berat disiplin ABRI (disersi, dll) yang berpangkat Kapten ke bawah, dalam tingkat pertama.

b. Pengadilan Militer (Tentara) Tinggi.

Kedudukan dan daerah hukumnya sama dengan kedudukan Pengadilan Tinggi (Sipil). Susunannya terdiri dari Ketua (dulu biasa dirangkap oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan sebagai Ketua Pengadilan Milliter Tinggi), sebagai anggotanya ditunjuk beberapa Hakim Perwira dengan pangkat serendah-rendahnya Kolonel, sebagai penuntut adalah Jaksa Tinggi dalam kedudukannya sebagai Jaksa Tinggi Milliter, dibantu oleh Panitera.

Tugas dan wewenang memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama para anggota ABRI yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang berkaitan dengan bidang kemiliteran bagi mereka yang berpangkat mayor ke atas, mengadili dalam tingkat kedua mereka yang meminta revisi atau banding, menyelesaikan perselisihan antar Pengadilan Militer yang ada di bawah wewenangnya.

c. Mahkamah Militer Agung

Berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi seluruh wilayah negara. Susunannya terdiri dari Mahkamah Agung ditambah dengan beberapa Hakim Perwira yang serendah-rendahnya berpangkat Kolonel. Jaksa Agung bertindak sebagai jaksa militer/tentara Agung.

Tugas Mahkamah Militer Agung mengawasi Pengadilan-pengadilan Militer tingkat bawahannya, mengadili dalam tingkat kedua perkara-perkara revisi dari suatu Pengadilan Militer Tinggi, mengadili pejabat-pejabat tinggi anggota ABRI yang telah melakukan perbuatan pidana atau pelanggaran.

Dalam sejarah penerapan syariat Islam dikenal sedikitnya empat macam wilayah atau lingkungan peradilan Islam yaitu:[35]

1. Wila>yah tahki>m: wilayah ini mirip dengan arbitrase pada masa sekarang, yaitu apabila dua pihak lebih memilih seseorang yang dianggap mampu dan adil untuk menyelesaikan sengketa mereka berdasarkan hukum syara’

2. Wila>yah Qad}ā’:adalah lembaga peradilan yang sesungguhnya yang berwenang menyelesaikan segala macam sengketa baik perdata maupun pidana.

3. Wila>yah Maz}ālim: Merupakan lembaga khusus yang hampir sama dengan peradilan tata usaha negara.

4. Wila>yah H{isbah: Suatu lembaga yang bertugas menegakkan amar makruf nahi nahi munkar, apabila jelas-jelas ditinggalkan. Kewenangan lembaga ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan lain sebagainya.

SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA[36]

(Sebelum satu atap)

Mahkamah

Agung

Dept.

Hankam

PANGAB

Dept.

Agama

Dept.

Kehakiman

PTTUN

PTA

Mahmilti

PT

PA

PN

PTUN

Mahmil


Keterangan:

PTA - Pengadilan Tinggi Agama

PT - Pengadilan Tinggi

PTTUN - Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Mahmilti - Mahkamah Militer Tinggi

PA - Pengadilan Agama

PN - Pengadilan Negeri

PTUN - Pengadilan Tata Usaha Negara

Mahmil - Mahkamah Militer

Dep. - Departemen

Hankam - Pertahanan dan Keamanan

PANGAB - Panglima Angkatan Bersenjata

Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional Yudikatif.

Hubungan ke Departemen adalah di bidang organisatoris, administratif dan finansial.

SKEMA SISTEM PERADILAN INDONESIA[37]

(peraturan terbaru, berada salam satu atap)

Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Agung

……......

PA

PTUN

Mahmilti

PTA

PTTUN

Mahmilgung

PT

Mahmil

PN


Keterangan :

PTA : Pengadilan Tinggi Agama

PT : Pengadilan Tinggi

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Mahmilgung : Mahkamah Militer Agung

PA : Pengadilan Agama

PN : Pengadilan Negeri

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

Mahmil : Mahkamah Militer

Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi

C. PENUTUP

Kesimpulan:

1) peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan, berkenaan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.

2) Prinsip Peradilan antara lain: Peradilan bersifat bebas, tidak memihak (independen), Peradilan dilakukan dengan cepat dan Peradilan bersifat demokratis. Transparansi dan kontrol sosial dan persamaan di depan hukum. Sedangkan unsur peradilan antara lain: Adanya Hakim atau Qādi, Hukum, Mahkum bihī atau suatu hak, mahkum alaih, mahkum lahū dan perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).

3) Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Nomor 14 tahun 1970 dan UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman” dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kini telah diundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru. Kalau semula ada 4 (empat) pelaksana Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kini menjadi lima ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.

4) Cakupan kekuasaan pengadilan ada dua yaitu: Kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu peradilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding. Sedangkan Kekuasaan mutlak pengadilan berkenaan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga: Jakarta, t. th.

Ash-Shiddeqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: PT.Ma’arif, 1994.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia Cet.IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV, Cet. I; Jakarta: Depdiknas, Balai Pustaka, 2008.

Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia Cet.I; Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Cet. VIII; Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Kartasapoetra, Roen G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Cet. I; Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988.

Madkur, Salam. Al-Qadhā Fil al-Islām, Kairo: Dār an-Nadhā al-‘Arabiyyah, t.th.

Mahfud MD, Moch. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet.I; Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Muhammad, Ali Rusjdi. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh;Problem, Solusi dan Implementasi Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.

Munawir, Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia), Cet.I; Jakarta: 1996.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, Cet.IX; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Simorangkir, J.T.C. et.al, Kamus Hukum, Cet. IX; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Tresna, Mr. Peradilan di Indonesia Dari abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.



[1]Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet.IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 11.

[2]Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam (Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 1.

[3]Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet.I; Jakarta: Depdiknas, Balai Pustaka, 2008), h. 10.

[4]Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhā Fil al-Islām (Kairo: Dār an-Nadhā al-‘arabiyyah, t.th), h. 11.

[5]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia), (Cet.I: Jakarta: 1996), h. 1215.

[6]Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT.Ma’arif, 1994), h. 29.

[7]J.T.C. Simorangkir, et.al, Kamus Hukum (Cet.IX: Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 124.

[8]Cik Hasan Bisri, Op. cit, h. 3.

[9]Ibid., h. 4.

[10] Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi (Yogyakarta: Gama Media, 1999), H. 289.

[11] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 111.

[12] Ibid., h. 130.

[13] Jimmy Ash-Shiddieqy, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, http://www.economic-law.net/jurnal/Cita NegaraHukumIndonesia.Doc. (20 Maret 2009).

[14] Ibid,.

[15] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cet.I: Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 6-7.

[16] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. IX: Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 11

[17] Lihat UU Nomor 2 Tahun 1986, LN 1986-20, tt. Peradilan Umum.

[18] Lihat UU Nomor 7 Tahun 1986, LN 1986-49, tt. Peradilan Agama.

[19] Lihat UU Nomor 5 Tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha.

[20]Roihan A. Rasyid, Roihan A.Rasyid, Loc. cit, h.13-14.

[21]Basiq Jalil, Op. cit, h. 20.

[22]Lihat pasal 2, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

[23]Lihat pasal 4 ayat 3, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

[24]Lihat pasal 7, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

[25]Lihat pasal 10 ayat 1, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

[26]Basiq Jalil, Op. cit, h. 22.

[27]Lihat pasal 13, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

[28]Ibid., h. 217.

[29]Muhammad Salam Madkur, Loc. cit.

[30]C.S.T Kancil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Cet. IX: Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 338.

[31]Ibid., h. 339.

[32]Ibid., h. 340-341.

[33]Oemar Seno Adji, Op. cit, h. 315.

[34]Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap (Cet.I: Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), h. 242.

[35]Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh;Problem, Solusi dan Implementasi (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 186.

[36] Roihan Rasyid, Loc. cit, h. 16

[37]Basiq Djalil, Op.cit., h. 21-22.