Senin, 12 Juli 2010

Hukum Islam Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

7


I. PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna yang memuat berbagai persoalan kehidupan manusia, baik diungkapkan secara global maupun secara rinci. Secara substantif ajaran Islam yang diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah saw.terbagi kepada tiga pilihan, yakni akidah, syariah dan akhlaq. Ajaran Islam yang mengatur perilaku manusia, baik kaitannya sebagai makhluk dengan Tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama makhluk, dalam term fiqih atau ushul fiqih disebut dengan syariah. Sesuai dengan aspek yang diaturnya, syariah ini terbagi kepada dua, yakni ibadah dan muamalah. Ibadah adalah syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan muamalah adalah syariah yang mengatur hubungan antar sesama manusia.[1]

Pada gilirannya, kegiatan ekonomi sebagai salah satu bentuk dari hubungan antar sesama manusia, ia bukan merupakan bagian dari akidah, ibadah dan akhlak, melainkan bagian integral dari muamalah. Namun demikian, masalah ekonomi tidak lepas sama sekali dari aspek akidah, ibadah, maupun akhlak, sebab menurut persfektif  Islam perilaku ekonomi harus selalu diwarnai oleh nilai-nilai akidah, ibadah dan akhlak.

Dalam bagian yang komperensif  Islam telah menerangkan tentang aturan berekonomi, termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti produksi, distribusi, dan konsumsi. Ungkapan ini merupakan pernyataan yang melegitimasi bahwa Islam dengan Alqurannya telah mengatur sistem ekonomi yang sempurna. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam mampu mengimbangi perkembangan sistem ekonomi yang berlaku di kalangan umat manusia.

Dalam perkembangan dewasa ini, ada dua sistem ekonomi yang paling berpengaruh di dunia, yaitu sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem ekonomi Kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang mengizinkan dimilikinya alat-alat produksi oleh pihak swasta, sedangkan sistem ekonomi Sosialis merupakan kebalikan dari sistem ekonomi di mana pemerintah atau pekerja memiliki serta menjalankan semua alat produksi, hingga demikian, usaha swasta dibatasi dan mungkin kadang-kadang dihapuskan sama sekali.

Berbeda dengan kedua sistem ekonomi di atas, Islam menerapkan sistem ekonominya dengan mempergunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang bersumber kepada Alquran dan sunnah. Berdasarkan uraian itu, dapat dipahami bahwa ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Alquran dan Sunnah, dan merupakan bangunan yang didirikan di atas landasan-landasan tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam.

         Selain itu, ekonomi menurut Islam memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari sistem ekonomi hasil penemuan manusia. Di antara ciri-ciri tersebut adalah, bahwa ekonomi merupakan bagian dari sistem Islam secara integral, dan ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum, seiring dengan itu Islam juga memberikan kebebasan kepada individu dalam berekonomi. Dalam upaya menyempurnakan pengakuan Islam terhadap kebebasan ekonomi, Islam telah memberikan wewenang kepada negara untuk ikut campur dalam fungsionalisasi sistem ekonomi Islam.[2]

Berdasar pada uraian di atas dapat dipahami bahwa pengakuan Islam akan kebebasan ekonomi dengan menentukan ikatan-ikatan adalah bertujuan untuk merealisasikan dua hal. Pertama, agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam syariat Islam. Kedua, terjaminnya hak negara dalam ikut campur baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan berbagai macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu atau tidak mampu untuk mengeksploitasinya dengan baik.

Uraian tersebut menjelaskan kepada kita bahwa persoalan-persoalan yang berkenaan dengan masalah ekonomi telah disinyalir dalam Islam. Sehingga bisa disimpulkan bahwa aturan Islam tentang ekonomi termasuk aturan yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, pengaplikasian sistem ekonomi Islam dalam tatanan perekonomian umat kemungkinan besar akan lebih membawa kepada kesejahteraan dan kemaslahatan umat itu sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem ekonomi Islam dan aplikasinya dalam tatanan perekonomian umat, sejauh mana sistem ekonomi Islam dapat memberdayakan umat.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulisan makalah ini akan dibatasi pada beberapa persoalan antara lain:

1.      Bagaimana memaknai konsep pengembangan ekonomi umat?

2.      Bagaimana memaknai sistem perekonomian dalam Islam?

3.      Bagaimana memaknai lembaga-lembaga ekonomi dalam Islam? 

    II.      PEMBAHASAN

A.    Konsep Pengembangan Ekonomi Islam

Sesungguhnya politik pengembangan ekonomi dalam Islam itu berarti bahwa perhatian terhadap bidang ekonomi merupakan bagian dari politik syariah dan apa yang menjadi tuntutannya tentang pemeliharaan sumber-sumber ekonomi dan pengembangannya, meningkatkan kemampuan produksi dengan mengembangkan seni dan metodenya, dan hal-hal lain yang menjadi keharusan dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi umat, memenuhi kebutuhan yang mendasar, dan memerangi kemiskinan.[3]

Agar pengembangan ekonomi dalam melaksanakan peranannya dalam merealisasikan tujuan syariah, maka seyogyanya jika dia memiliki beberapa kriteria, yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:[4]

1.      Pengembangan ekonomi dalam ekonomi tidak akan dapat merealisasikan tujuannya jika terpisahkan dari sisi-sisi lain tentang pengembangan yang komprehensif yang menjadi tujuan politik syariah dalam merealisasikannya.

2.      Sesungguhnya merealisasikan kesejahteraan dan meningkatkan tingkat penghidupan umat adalah tuntutan dalam syariah.

3.      Seyogyanya pengembangan ekonomi dalam Islam mencakup semua rakyat negara dan wilayahnya berdasarkan asas keterpaduan dan keseimbangan sesuai garis-garis perekonomian yang saling berkaitan dari sisi tujuan dan cara, dan korelasi realitas kemampuan yang dimiliki dengan kemampuan dalam melaksanakan.

4.      Pengembangan ekonomi dalam Islam adalah suatu kewajiban syariah dan ibadah yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah jika dilakukannya dengan ikhlas karena-Nya.

5.      Sesungguhnya politik pengembangan ekonomi yang berdampak pada bertambahnya pemasukan (income) itu menjadi tidak dibenarkan jika berakibat terhadap rusaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.

6.      Sesungguhnya berbagai upaya pengembangan ekonomi pada masa Umar Radiyallahu Anhu terfokuskan pada penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu masyarakat.

Sesungguhnya kualitas lingkungan pengembangan ekonomi akan terealisasi dengan terwujudnya lingkungan yang Islami dengan segala aspek kehidupan di mana pilar-pilar terpenting yang menopang lingkungan tersebut adalah sebagai berikut:[5]

·         Kesalehan Umat

Sesungguhnya kesalehan umat adalah dengan mengimani Islam sebagai akidah dan syariah, dan pengaplikasiannya dalam segala aspek kehidupan. Sebab ketika seorang muslim meyakini bahwa dia sebagai khalifah dalam kehidupan ini, yang salah satu peraturannya adalah memakmurkan bumi dan mengembangkannya, maka keyakinannya ini akan mendorongnya dalam melakukan pengembangan ekonomi dengan menilainya sebagai sarana yang harus dimiliki umat dalam melaksanakan tugasnya di dalam kehidupan ini. Bahkan jika dilakukannya dengan ikhlas, maka akan menjadi ibadah yang mendekatkan muslim kepada Allah swt.

·         Kebaikan Sistem Pemerintah

Adapun dimaksudkan sistem pemerintah adalah perangkat politik dan apa yang muncul darinya terkait sistem pemerintah. Sebab dengan kadar kebaikan perangkat politik, konsistensi pemahaman politik bagi individu, dan kebaikan hubungan antara rakyat dan pemerintah, maka akan meletakkan laju pesatnya pengembangan ekonomi pada jalan yang semestinya. Urgensi kebaikan sistem pemerintah bersumber pada kesadaran individu umat yang merasakan bahwa disana terdapat lembaga yang memberikan hak-haknya, menentukan kewajiban dan konsekuensi untuknya, dan memberikan peluang kepadanya dalam kehidupan. Dan itulah yang akan mewujudkan keamanan dan ketentraman, dan kepatuhan pada aturan dan ketetapan (pemerintah).

Dari beberapa riwayat tersebut diatas dapat dikatakan bahwa tugas terpenting pemerintah adalah sebagai berikut:

a.       Menjaga agama, yaitu dengan cara menerapkan hukum-hukumnya, menyerukan kepadanya, dan berjihad melawan musuh-musuhnya.

b.      Menjaga harta kaum muslimin, yaitu dengan cara mengumpulkan dan membagikannya sesuai hukum syariah.

c.       Menegakkan keadilan dengan cara merealisasikan keamanan dan ketentraman.

d.      Berupaya mewujudkan kesejahteraan umat dengan memeperhatikan orang-orang yang membutuhkan dan berupaya merealisasikan kecukupan mereka.

·         Adil

Pengembangan ekonomi tidak akan berjalan dalam lingkungan yang diliputi kezaliman; karena kezaliman merupakan sebab hilangnya nikmat dan datangnya adzab; kemudian bahwa umat yang kehilangan keadilan maka akan kehilangan keadilan untuk bekerja  sama dalam pengembangan. Umar Radiyallahu Anhu menjelaskan dampak kezaliman terhadap kehidupan dengan mengatakan,” Tertahannya hujan disebabkan hakim yang jahat dan pemimpin yang zalim”.

·         Kebebasan dan Persamaan

Pembicaraan tentang kebebasan dan persamaan bukanlah hanya sebatas teori dan konsep belaka, namun pembicaraan tentang hal yang dinamis, menyentuh relung kehidupan individu dan kelompok, serta berdampak pada perjalanan umat  dalam kemajuan atau ketertinggalannya.

Sesungguhnya pembicaraan tentang kebebasan dan persamaan dalam Islam sangat berbeda dengan yang terdapat dalam sistem konvensional. Dalam Islam, persamaan merupakan substansi keadilan, persamaan merupakan buah dari keadilan dan salah satu fenomenanya. Sebab keadilan mengharuskan persamaan diantara manusia dalam segala bidang, seperti disebutkan dalam firman Allah,

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.” (Al-Hujurat: 13)

·         Keamanan dan Ketentraman

Alquran mensejajarkan antara nikmat kemakmuran dan nikmat keamanan dan ketentraman. Allah berfirman,

Maka hendaklah  mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Quraisy: 3-4)

Sesungguhnya para pengamat dalam era kontemporer mengetahui hubungan antara keamanan dan pengembangan ekonomi, dimana mereka mengaitkan  konsep pengembangan ekonomi dengan keamanan, hingga dikatakan, “Keamanan  adalah pengembangan ekonomi. Tanpa pengembangan ekonomi, maka disana tidak mungkin ada keamanan. Karena itu negara-negara berkembang yang “tertinggal” yang tidak merealisasikan pengembangan ekonomi tidak merasakan adanya jaminan keamanan.

B.     Sistem Ekonomi Islam

Nilai-nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid, menurut Saefudin, adalah meliputi:[6]

1.      Kepemilikan (ownership)

2.      Keseimbangan (equilibrium)

3.      Keadilan (justice)

Ketiga nilai dasar tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Kepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam adalah:

a.       Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Seorang muslim yang tidak memproduksi manfaat dai sumber-sumber yang diamanatkan Allah padanya akan kehilangan hak atas sumber-sumber tersebut.

b.      Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila orang itu mati, harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan Islam.

2.      Keseimbangan (equlibrium), yang pengaruhnya terlihat pada berbagai aspek tingkah laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony) dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak hanya timbangan kebaikan hasil usahanya diarahkan untuk di dunia dan di akhirat saja, tetapi berkait juga dengan kepentingan (kebebasan) perorangan dengan kepentingan umum yang harus dipelihara, grow with equity tampil dalam kehidupan ekonomi masyarakat, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

3.      Keadilan (justice). Kata yang paling banyak disebut dalam Alquran setelah Allah dan ilmu pengetahuan, ialah keadilan. Kata keadilan disebut lebih dari 1000 kali menunjukkan betapa  nilai dasar ini memiliki bobot yang sangat dimuliakan dalam Islam, baik yang berkait dengan aspek sosial, politik maupun ekonomi. Qardhawi menyatakan, bahwa “Ruh sistem Islam adalah pertengahan yang adil” lebih jauh Qardhawi menyatakan bahwa:

“Islam telah mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang teraplikasikan dalam setiap hubungan dagang dan kontrak-kontrak bisnis. Oleh karena itu, Islam melarang bai’ al-gharār (jual beli yang tidak jelas sifat-sifat barang yang ditransaksikan)” karena mengandung unsur ketidak jelasan yang membayangkan salah satu pihak yang melakukan transaksi.

Dalam ekonomi Islam, nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, adalah meliputi:[7]

1.      Zakat

Sumber utama dalam pendapat dalam pemerintahan negara Islam pada periode klasik serta negara-negara Islam pada umumnya adalah zakat, yang notabene merupakan salah satu dari rukun Islam. Namun zakat bukanlah pajak untuk menjamin penerimaan negara. Sebab, distribusi hasil pengumpulan zakat harta ditunjukkan pada delapan kelompok sasaran (asnaf) sebagaiman firman Allah SWT yang artinya:

hanya zakat itu untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, orang muallaf hatinya, untuk memerdekakan budak (hamba), orang yang berhutang, orang yang berjuang dijalan Allah dan untuk orang musafir sebagai suatu keperluan dari Allah. Allah maha mengetahui lagi bijaksana.”

Menurut Qardhawi zakat merupakan sumber dana jaminan sosial. Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, dan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi umat. Oleh karena itu, Qardhawi lebih tegas menyatakan, bahwa zakat tersebut dalam konteks umat menjadi sumber dana yang sangat penting. Zakat berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen dalam hal mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau konsumsi atau investasi. Pengaruh dari zakat pada aspek sosial ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas yang diakibatkan oleh ketajaman perbedaan pendapat. Pelaksanaan zakat oleh negara menunjang terbentuknya keadaan ekonomi, yakni peningkatan produktivitas yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat.

Sistem zakat dalam ekonomi Islam adalah sebagai garda terdepan sistem fiskal. Zakat memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan sekaligus stabilisasi dalam perekonomian. Jika dikelola dengan baik, zakat akan menjadi salah satu solusi dari sasaran akhir perekonomian suatu negara. Yakni terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Paling tidak ada beberapa effect jika zakat dikelola dengan baik :[8]

a.      Zakat Mendorong Pemilik Modal Untuk Mengelola Hartanya

Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif dan digunakan untuk produksi tidak dikenakan zakat. Jadi jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktivitas, karena uang selalu diedarkan di masyarakat, sehingga jumlah uang yang beredar bertambah. Akhirnya perekonomian suatu negara akan berjalan lebih baik.

b.      Meningkatkan Etika Bisnis

Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis.

c.       Pemerataan Pendapatan

Pengelolan zakat yang baik dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang kurang baik. sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat distribusi pendapatan itu akan lebih merata, dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan. 

d.      Pengembangan Sektor Riil

Salah satu cara dalam pendistribusian zakat bisa dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan mendorong para mustahiq untuk melakukan usaha pada sektor rill. Hal ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatnya penghasilan dari mustahiq dan juga akan berdampak ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor rill, menggerakkan pertumbuhan dan aktivitas perekonomian. dan hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktivitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya di dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.

e.       Sumber Dana Pembangunan

Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan para dhuafa. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu bangsa berkualitas tinggi. Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.

2.      Pelarangan Riba

Zakat dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi. Oleh karena itu, sarana untuk mencegah timbulnya fenomena ketidak adilan yang paling menonjol adalah pelarangan riba. Hakikat pelarangan riba dalam Islam adalah suatu penolakan terhadap timbulnya resiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual beli yang dibebankan pada satu pihak saja sedangkan pihak yang lainnya dijamin keuntungannya. Menurut Qardhawi, bahwa “nash Alqur`an ( yang berkaitan dengan riba) menunjukkan bahwa dasar pengharaman riba adalah melarang perbuatan zalim bagi masing-masing dari kedua belah pihak, maka tidak boleh menzalimi dan tidak boleh dizalimi”.

Bunga pinjaman uang, modal dan barang dalam segala bentuk dan macamnya, baik yang tujuan produktif maupun konsumtif, dengan tingkat bunga tinggi atau rendah, dalam jangka waktu panjang atau pendek adalah termasuk riba. 

3.      Kerjasama Ekonomi

Kerja sama (cooperative) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Kerjasama ekonomi harus dilaksanakan dalam semua  tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Satu bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam adalah qirad. Qirad adalah kerja sama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau pelaksana dalam unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Qirad dikenal di dunia ekonomi sebagai penyertaan modal, tanpa beban bunga modal atau bunga uang, tetapi atas dasar profit dan loss sharing dari proyek usaha kegiatan ekonomi yang disepakati bersama.

4.      Jaminan Sosial

Dalam Alquran sering disebut doktrin sosial. Tujuan doktrin sosial antara lain adalah untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup yang minimum bagi seluruh lapisan masyarakat. Jaminan sosial secara tradisional berkonotasi dengan pengeluaran-pengeluaran sosial baik untuk kepentingan negara atau untuk kebajikan humanis (filantropis) dan tujuan-tujuan bermanfaat lainnya menurut syariah Islam. Nilai-nilai jaminan sosial yang Islami, menurut Saefudin ialah sebagai berikut:

a.       Keuntungan dan beban sebanding dengan manfaat

b.      Tidak ada saling membebankan kerusakan atau biaya-biaya eksternal kepada orang lain.

c.       Manfaat dari sumber-sumber harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah

d.      Negara harus menyediakan dana untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi

e.       Pengeluaran sosial adalah hak sah bagi orang-orang yang miskin dan malang.

5.      Peran Negara

Nilai instrumental adalah peran atau campur tangan negara dalam fungsionalisasi ekonomi Islam. Dalam hal ini negara berperan sebagai pemilik manfaat sumber-sumber, produsen, distributor dan sekaligus sebagai lembaga pengawasan kehidupan ekonomi. Dalam negara Islam fungsi pengawasan dilakukan melalui lembaga Hisbah (Pengawasan). Hisbah adalah institusi negara yang pernah ada pada zaman nabi Muhammad SAW, sebagai lembaga pengawas pasar atau kegiatan ekonomi yang menjamin tidak adanya perkosaan atau pelanggaran aturan moral dalam pasar (monopoli), perkosaan terhadap hak konsumen, kemanan dan kesehatan kehidupan ekonomi. Hisbah ini independent dari kekuasaan yuridis maupun eksekutif. Apabila campur tangan negara dalam pengawasan moral ekonomi (pasar) pada individu maupun masyarakat makin kuat, maka makin berkuranglah campur tangan langsung dari negara terhadap kegiatan ekonomi.   

Perbedaan yang utama antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional adalah: Pertama adalah: secara epistemologis ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan diakhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam.[9]

C.    Lembaga-lembaga ekonomi Islam

Ketika dakwah Islamiyah semakin gencar, umat Islam semakin hari semakin memahami ajaran Islam tentang norma ekonomi. Keinginan untuk merealisasikan ajaran Islam tentang norma ekonomi telah tumbuh di kalangan umat Islam, tetapi ketika akan merealisasikannya umat Islam berhadapan dengan persoalan di mana lembaga ekonomi dan keuangan yang ada tidak memakai norma-norma Islam, tetapi menggunakan perinsip konvensional. Upaya untuk mengubah lembaga ekonomi dan keuangan konvensional dengan prinsip syariah adalah sesuatu yang mustahil dan kalaupun mungkin akan memaksa waktu yang sangat lama dan menghadapi tantangan yang sangat berat. Oleh karena itu, alternatif yang mungkin diambil adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan berdasar syariah secara mandiri terpisah dari lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan konvensional. 

Adapun lembaga-lembaga ekonomi yang telah berdiri saat ini dengan menggunakan sistem ekonomi Islam antara lain:

·         Badan Amil Zakat (BAZ)

 BAZ merupakan kependekan dari Badan Amil Zakat. Institusi  ini sebelumnya biasa disebut dengan BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah). Sedangkan pengertian BAZIS secara istilah antara lain ditemukan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/47 Tahun 1991 Tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sadaqah. Dalam pasal  1 SKB tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan BAZIS adalah  Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran, dan pemanfaatan zakat, infaq, dan shadaqah secara berdayaguna dan berhasil guna.[10]

Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 bahwa tugas pokok dari Badan Amil Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Secara lebih rinci mengenai tugas BAZIS ini  dikemukakan dalam Keputusan Menteri  Agam Nomor 581 Tahun 1999 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Sedangkan fungsi BAZIS, sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/47 Tahun 1991 Tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) Pasal 6 bahwa fungsi utama dari BAZIS adalah sebagai wadah pengelola, penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat, infaq, dan sadaqah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional. Selain itu, BAZIS juga berfungsi sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.[11]

Dari pasal tersebut nampak bahwa fungsi dari BAZIS adalah mengumpulkan zakat, infaq, dan sadaqah dari masyarakat. Pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah oleh BAZIS itu dilakukan dengan cara menerima dan atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan dari muzakki. Perhitungan zakat atas harta dilakukan oleh muzakki itu sendiri, kecuali apabila muzakki itu tidak mampu melakukannya, maka perhitungan zakat bisa dibantu oleh BAZIS.

Hasil pengumpulan zakat, infaq, dan sadaqah dari masyarakat (umat islam) itu kemudian didayagunakan untuk kepentingan masyarakat yang tidak mampu dan berhak mendapatkan bagian dari harta zakat (mustahiq). Pendayagunaan zakat, infaq, dan sadaqah tersebut harus didasarkan pada skala prioritas kebutuhan mustahiq. Selain itu, khusus bagi zakat harta (māl) pendayagunaan zakat harus pula diorientasikan pada usaha-usaha yang bersifat produktif. Hal ini terlebih-lebih dari hasil pengumpulan infaq dan shadaqah harus lebih diorientasikan pada usaha-usaha yang bersifat produktif.

·         Bank Syariah

Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi`i Antonio, bank syariah memiliki dua pengertian, yaitu:[12]

1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari`at Islam;

2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Alqur`an dan hadis.

Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan syari`at Islam. Dalam pengertian ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya.[13]

Bank Syariah juga memiliki beberapa ciri atau karakteristik sendiri, yang antara lain adalah sebagai berikut:[14]

1)      Berdimensi keadilan dan pemerataan

2)      Adanya pemberlakukan jaminan

3)      Menciptakan rasa kebersamaan

4)      Bersifat mandiri

5)      Persaingan secara sehat

6)      Adanya dewan pengawas Syariah 

·         IDB, BUS dan BPRS

Islamic Development Bank (IDB)

Pendirian Islamic Development Bank (IDP) diawali oleh keinginan beberapa negara Islam dan negara dengan mayoritas penduduknya muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Keinginan ini sudah cukup lama didambakan dan diperbincangkan; namun, mulai menjelma pada tahun 1970. Pada bulan Desember 1970 OKI menyelenggarakan sidang yang ke-2 di Karachi, Pakistan. Dalam sidang tersebut anggota OKI sepakat bahwa praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariat Islam. Hasil sidang OKI itu kemudian ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya “Declaration of Intent for the Establisment of an Islamic Development” dalam sidang pertama Konferensi Menteri-Menteri Keuangan negara-negara Islam di Jeddah, Arab Saudi pada tanggal 18 Desember 1973. Kemudian pada sidang ke-2 Menteri-menteri Keuangan Islam di Jeddah, Arab Saudi pada tanggal 10-12 Agustus 1974 secara resmi menyetujui pembentukan IDB tersebut.[15]

Sebagai bank dunia yang prinsip operasionalnya mengacu pada syariat Islam, IDB telah menawarkan beberapa fasilitas pembiayaan yang bisa dimanfaatkan khususnya oleh negara-negara yang bergabung dalam OKI, seperti Indonesia. Diantara pembiayaan fasilitas tersebut adalah  Equity Participation, Line of Equity, Profit Sharing, Loan, Leasing, Line Leasing, Instalment Sale, Import Trade Financing Operation, Longer Term Trade Scheme, Technical Assistance, dan Assistance from Special Accounts.[16]

Bank Umum Syariah

Bank umum adalah bank yang dapat memeberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Ia merupakan lembaga keuangan yang dapat menerima deposito atau simpanan dari masyarakat dan memberikan kredit serta jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Bank umum ini disebut pula dengan commercial bank, karena bank umum mendapatkan keuntungan (profit oriented).[17]

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

Berdirinya BPRS dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi Indonesia yang tengah mengalami restrukturisasi ekonomi. Restrukturisasi perekonomian di Indonesia itu terwujud dalam berbagai kebijakan, baik di bidang keuangan, moneter, termasuk dalam bidang perbankan. Selain itu, berdirinya BPRS itu dilatarbelakangi pula oleh adanya peluang bagi pengembangan bank Islam dalam undang-undang perbankan, yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil.[18]

Terdapat beberapa tujuan dari didirikannya BPRS, antara lain:[19]

1)      Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.

2)      Mendapatkan pendapatan perkapita.

3)      Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan.

4)      Mengurangi Urbanisasi.

5)      Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi. 

·         Asuransi Takāful

Asuransi (takāful) Islam adalah asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu pada Alquran dan sunnah.[20] Pengertian secara umum dari asuransi (takāful) Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dari asuransi konvensional. Kedua asuransi dalam konteks perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung).Perbedaan paling utama keduanya terletak pada pengelolaan dan pendayagunaan premi yang disetor peserta, serta sumber dan cara pembayaran klaim. Kalau pada asuransi konvensional pengelolaan dan pendayagunaan premi yang disetor peserta diinvestasikan dengan menggunakan sistem bunga, sedangkan dalam asuransi (takāful) Islam diinvestasikan dengan menggunakan sistem yang dibenarkan syariah, khusunya mudārabah dan musyārakah.

Menurut Ahmad Azhar Basyir, asuransi takaful ditegakkan diatas tiga prinsip utama. Pertama, saling bertanggung jawab yang berarti rasa tanggung jawab warga masyarakat terhadap warga yang lain. Kedua, saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti diantara warga masyarakat yang satu dengan yang lainnya saling membantu dan meringankan penderitaan dan memenuhi berbagai kebutuhan. Ketiga, saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa warga masyarakat yang satu menjadi pelindung bagi warga masyarakat yang lainnya dari gangguan keselamatan dan keamanan.[21]

·            Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS)

Kebijakan pemerintah, bagaimanapun, diarahkan pada pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan. Dalam upaya tersebut, kemandirian masyarakat melalui peningkatan peran serta, efesiensi dan produktifitas rakyat menjadi sebuah syarat mutlak. Hal itu perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan lahir dan bathin. Statemen-statemen tersebut sebenarnya secara substansial telah disinggung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yang merupakan dasar pijakan dari perlunya dibentuk Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS).

Selain mengacu pada kebijakan yang termuat dalam GBHN 1993, pendirian USPS didasari pula oleh kenyataan bahwa di Indonesia jumlah pondok pesantren, sebagai basis pengembangan ekonomi Islam, sangat banyak. Menurut catatan yang ada hingga tahun 1995 jumlah pondok pesantren di Indonesia sebanyak 8.528 buah dengan jumlah santri sebanyak 1,9 juta orang. Seluruh komponen pondok pesantren kyai, ustadz, santri, dan masyarakat disekitarnya, menjadi aset yang sangat potensial bagi pengembangan lembaga ekonomi yang mekanismenya mengacu pada syariat Islam.

Prinsip muamalah dalam USPS adalah penggunaan prinsip-prinsip  muamalah dalam Unit Simpan Pinjam Syari`ah (USPS). Oleh karena dalam unit simpan pinjam ini mengacu pada syariat Islam, maka aturan dalam fiqh al-mu`āmalah menjadi indikatornya. Artinya, sesuai atau tidaknya mekanisme dalam unit simpan pinjam itu sangat ditentukan oleh kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip muamalah.

Terdapat 4 prinsip utama dalam fiqh al-mu`āmalah, yaitu: (1) pada asalnya muamalah itu boleh sampai ada dalil yang menunjukkan pada keharamannya; (2) muamalah itu mesti dilakukan atas dasar suka sama suka (`an tarādhin); (3) muamalah yang dilakukan itu mesti mendatang maslahat dan menolak madarat bagi manusia (jalb al-mashālih wa dar’u al-mafāsid); dan (4) muamalah itu terhindar dari kezhaliman, penipuan, manipulasi, spekulasi, dan hal-hal lain yang tidak dibenarkan oleh syara’.

·            Lembaga Pengembang Ekonomi Swadaya Masyarakat

Lembaga pengembang ekonomi swadaya masyarakat (LPESM) adalah lembaga pengembang ekonomi yang tumbuh dan berkembang serta dimiliki masyarakat. Dalam hal ini lembaga itu tidak mengkhususkan diri sebagai institusi yang menjalankan usaha bisnis untuk memperoleh keuntungan, tetapi lebih mengkhususkan diri pada pengembangan lembaga-lembaga perekonomian. Misal dari LPESM adalah PINBUK dan Inkopontren. Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dapat dikatakan sebagai  LPESM karena berperan dan berfungsi untuk mengembangkan BMT-BMT dan lembaga-lembaga perekonomian umat lainnya. Induk Koperasi Pondok Pesanteren (Inkopontren) dapat dikatakan sebagai LPESM karena kegiatan Inkopontren tidak hanya diorientasikan untuk menjalankan usaha bisnis, tetapi lebih diorientasikan pada pengembangan Puskopontren. (Pusat Koperasi Pondok Pesantren) dan Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren). 

·      Baitul Māl Wa Tamwīl

Baitul Māl Wa Tamwīl (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-māl wa al-tamwīl dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, bayt al-māl wa al-tamwīl juga bisa menerima titipan zakat, infaq, dan shadaqah, serta menyalurkan sesuai dengan peraturan dan amanatnya.

Baitul māl wa tamwīl adalah lembaga ekonomi atau keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal. Disebut informal karena lembaga ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Oleh karena itu, selain berfungsi sebagai lembaga keuangan BMT juga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan ia menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT). Sebagai lembaga ekonomi ia juga berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian. 

 III.            PENUTUP

Kesimpulan:

1)         politik pengembangan ekonomi dalam Islam itu berarti bahwa perhatian terhadap bidang ekonomi merupakan bagian dari politik syariah dan apa yang menjadi tuntutannya tentang pemeliharaan sumber-sumber ekonomi dan pengembangannya, meningkatkan kemampuan produksi dengan mengembangkan seni dan metodenya, dan hal-hal lain yang menjadi keharusan dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi umat, memenuhi kebutuhan yang mendasar, dan memerangi kemiskinan. Sesungguhnya kualitas lingkungan pengembangan ekonomi akan terealisasi dengan terwujudnya lingkungan yang Islami dengan segala aspek kehidupan di mana pilar-pilar terpenting yang menopang lingkungan tersebut adalah kesalehan umat, kebaikan sistem pemerintah, adil, kebebasan dan persamaan dan keamanan dan ketentraman.

2)         Nilai-nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid adalah meliputi; Kepemilikan (ownership), keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (justice). Dalam ekonomi Islam, nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, adalah meliputi: Zakat, pelarangan riba, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran Negara.

3)         Adapun lembaga-lembaga ekonomi yang telah berdiri saat ini dengan menggunakan sistem ekonomi Islam antara lain: BAZ, Bank Syariah, IDB, BUS dan BPRS, asuransi takaful, USPS, LPESM dan Baitul Māl wa Tamwīl. 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad.  Al-Fiqh al-Iqtishadi Li SAmiril Mukminin Umar bin al-Khattab, diterjemahkan oleh H. Asmuni Sholihan dengan judul Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab, Cet.I; Jakarta: Khalifah, 2006.

Basyir, Ahmad Azhar. Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam, dalam Ulumul Quran Nomor 2/VII/1996. 

Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta: Bank Indonesia, 1999. 

Dahlan, Abdul Aziz. etc., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997. 

Djazuli, H.A. Yadi Janwari. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat, Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. 

Fachruddin, Fuad Mohd. Riba dalam Bank Koperasi, Perseroan, dan Asuransi, Bandung: Al-Ma’arif, t.t.

Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Cet.I; Yogyakarta: UII Press, 2000. 

Perwataatmadja, Karnaen A, dan Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Syariah  Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992. 

_____________, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Depok: Usaha Kami, 1996 

Http:// www.beritaterkini/info-muamalat/Bank muamalah.com 

Http://www.komparasiekonomiislam/fitriyulianti/in


[1]H.A.Djazuli, Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 17.                

[2]Ibid., h. 19.

[3]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Al-Fiqh al-Iqtishādi Li Amīril Mukminīn Umar bin al-Khattab, diterjemahkan oleh H. Asmuni Sholihan dengan judul Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab (Cet.I; Jakarta: Khalifah, 2006), h. 393. 

[4]Ibid., 396-399.

[5]Ibid., h. 403-420.

[6]Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer (Cet.I; Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 2-26.

[9]Http//: www.beritaterkini/info-muamalat/Bank muamalah.com, diakses tanggal 6 Nov 2009

[10]H.A.Djazuli, Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 39. 

[11]Ibid., h. 48.

[12]Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Syariah (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h. 1. 

[13]Abdul Aziz Dahlan,etc., Ensiklopedi Hukum Islam  (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 194. 

[14]H.A.Djazuli, Op.cit., h. 56-60.

[15]Karnaen A.Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Depok: Usaha Kami, 1996), h. 251.

[16]Fasilitas pembiayaan Equity of Participation dan Line Equity dalam fiqh al-mu`amalah sama pengertiannya dengan musyarakah (penyertaan modal). Sedangkan yang dimaksud fasilitas pembiayaan Loan sama pengertiannya dengan al-qardh al-hasan, yaitu pinjaman yang tidak mengikat tanpa bunga dan tanpa commitmentfee. Pinjaman itu hanya wajib dikembalikan sejumlah uang yang dipinjam tanpa kelebihan apapun. Seperti halnya dalam pembiayaan Qardhatul Hasan  di BURS atau BPRS, fasilitas pembiayaan Loan juga bagi negara-negara anggota yang kurang berkembang, terutama untuk membiayai proyek-proyek prasarana. Fasilitas pembiayaan Leasing dan Line of Leasing dalam fiqh al-mu`amalah sama pengertiannya dengan ijarah  (sewa guna usaha). Sedangkan yang dimaksud dengan Instalment Sale dan Line of Instalment Sale sama pengertiannya dengan al-bai’bithaman ajil dalam fiqh al-mu’amalah, yaitu memberikan sebuah barang bagi nasabah yang pembayarannya dilakukan dengan cara dicicil. Fasilitas pembiayaan Import Trade Financing Operation dalam fiqh al-mu’amalah sama pengertiannya dengan murabahah yang dalam fasilitas pembiayaan IDB berarti bantuan yang diberikan kepada importir untuk membiayai import barang-barang yang diperlukan bagi pembangunan di negara yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud fasilitas pembiayaan Longer Term Trade Financing Operation Scheme adalah sebuah fasilitas yang diberikan IDB untuk mendorong ekspor dengan cara memberi bantuan kepada importir berupa kelonggalaran waktu untuk membayar barang yang diimpor lebih lama dari Import Trade Financing Operation, yaitu maksimal 5 tahun. Lihat Karnaen A.Perwataatmadja, etc., Apa dan Bagaimana Bank Islam, Op.cit., h. 64-65. 

[17]Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), h. 23. 

[18]Dalam pasal 6 poin (m) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa di antara usaha bank adalah “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud di sini adalah PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 

[19]Karnaen A.Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Op.cit., h. 96. 

[20]Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank Koperasi, Perseroan, dan Asuransi (Bandung: Al-Ma’arif, t.t), h. 198. 

[21]Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam, dalam Ulumul Quran (Nomor 2/VII/1996), h. 15.