Senin, 12 Juli 2010

HUKUM ISLAM DAN CIVIL SOCIETY

2
I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu produk pemikiran Barat yang telah melalui perjalanan sejarah cukup panjang sejak zaman Yunani kuno adalah konsep mengenai masyarakat sipil. Konsep ini sekian lama terlalaikan dalam perkembangan wacana mainstream dan kembali populer khususnya semenjak gelombang demokratisasi menerpa negeri-negeri Eropa Timur pertengahan tahun 1980-an hingga tahun 1990-an. Hal menarik dari konsep tersebut adalah karena inspirasi pemikiran yang ditimbulkannya terhadap perubahan politik di bekas negara-negara tersebut itu oleh kebanyakan analisis dipahami sebagai akibat tak terelakkan dari kebangkitan gerakan masyarakat sipil. Pemikiran semacam ini mengilhami banyak ilmuwan, cendekiawan, dan aktivis di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Wacana ini kemudian mendapat respon positif di beberapa negeri berkembang yang juga tengah bergulat dengan rezim otoriter. Dalam memaknai konsep civil society, para ilmuwan dan cendekiawan di Indonesia, ada yang menyamakannya dengan konsep masyarakat madani dan ada pula yang membedakannya. Cendekiawan yang menggunakan istilah masyarakat madani umumnya berlatar “Islam Modernis”, sedangkan cendekiawan yang lebih memilih menggunakan istilah masyarakat sipil pada umumnya berlatar “Islam Kultural”

Masyarakat madani sebagai terjemahan civil society diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Anwar Ibrahim (ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah Festival Istiqlal, 26 September 1995. Istilah masyarakat madani ini merupakan terjemahan dari kosakata bahasa Arab mujtama madani yang secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, ‘masyarakat kota” karena madani adalah turunan kata dari bahasa Arab madinah yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban karena madani adalah juga turunan dari bahasa Arab tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban. Dalam bahasa Inggris ini disebut sebagai civility atau civilization. Dari istilah itu masayarakat madani bisa berati sama dengan civil society.
Sebagai sebuah wacana kontemporer, sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan rumusan bersifat teoritis dan konsep yang baku tentang konsep civil society. Oleh karena itu dalam mendefinisikan konsep civil society yang sangat tergantung pada kondisi sosial kultural suatu masyarakat atau bangsa sebab bagaimanapun konsep civil society merupakan bangunan pemikiran yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa-bangsa Eropa Barat.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, sebagai berikut:
1.Bagaimana memaknai civil society?
2.Bagaimana memaknai konsep masyarakat madani dan konsep civil society?
3.Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai konsep civil society?

C. Sistematika Pembahasan

Makalah ini terdiri dari tiga bagian yaitu : I. Pendahuluan, II. Pembahasan, III. Penutup. Bagian pertama adalah pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika pembahasan. Bagian kedua pemakalah membahas bagaimana pengertian civil society, dari berbagai pendapat, kemudian penjelasan konsep masyarakat madani dan hubungannya dengan konsep civil society dan pandangan hukum Islam mengenai konsep civil society. Bagian ketiga penulis menutup dengan mengemukakan kesimpulan dari penulisan makalah. Bagian akhir, makalah ini penulis melengkapi dengan daftar pustaka sebagai rujukan.


I. PEMBAHASAN
A.Defenisi Civil Society
Apakah civil society itu ? Tersedia beragam jawaban yang berwarna-warni. Menurut Dawam Raharjo konsep civil society “telah menimbulkan arti yang berbeda pada orang yang berbeda” Karenanya, konsep civil society memiliki banyak versi dan interpretasi, kendatipun secara idelogis dapat digolongkan ke dalam dua versi ideologis, yakni versi kapitalisme dan sosialisme. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767). Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville. Studi Gellner berlanjut sampai pada kajian terhadap upaya menghidupkan kembali konsep civil society di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer.
Istilah masyarakat sipil atau civil society dalam studi ini merupakan padanan kata yang sering digunakan selain “masyarakat madani”,”masyarakat warga”, “masyarakat kewargaan”, dan “masyarakat beradab”.  
Secara harfiah, civil society itu sendiri adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang orator dan pujangga Roma. Beliau memberikan defenisi yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan lagi oleh John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke umpamanya, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai "masyarakat politik" (political society). Masyarakat politik itu sendiri, adalah merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (social contract), suatu konsep yang dikemukakan oleh Rousseau, seorang filsuf sosial Prancis abad ke-18. Dalam perjanjian kemasyarakatan tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan alami dari suatu masyarakat.

Pembedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel (1770-1831), pemikir Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh Marx itu. Sama halnya dengan Locke dan Rousseau, Hegel melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ini adalah arena, dimana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya. Tapi di sini, masyarakat sipil, tidak sebagaimana halnya pandangan dua pemikir Inggris dan Prancis yang terdahulu, bukanlah masyarakat politik. Yang dipandang sebagai masyarakat politik adalah negara. Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Agaknya, dari teori Hegel inilah dikenal dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society) .

Rumusan konsep civil society yang agak maju dibuat oleh Alexis de Tocqueville pada abad ke -19 Masehi setelah melakukan penelitian lapangan yang hasilnya dimuat dalam karyanya “Democracy in America” yang terinspirasi oleh Montesguieu. Ia berpendapat bahwa asosiasi-asosiasi volunter berguna untuk memperantarai aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan.

Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang penganut civil society dengan merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.

Berdasarkan konsep civil society tersebut, menurut Sabri Samin dapat ditarik benang hijau bahwa civil society adalah suatu konsep bermasyarakat dan bernegara yang memberi kebebasan individual kepada setiap orang dengan batasan yang berkeseimbangan berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa mengorbankan hak-hak dan kepentingan individual yang asasi dalam bingkai mekanisme aturan yang berkeadaban dan berkeadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Dengan demikian unsur-unsurnya meliputi:

1.Adanya kehidupan pribadi yang bebas tetapi tidak sewenang-wenang terhadap suatu kelompok masyarakat lainnya.
2.Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan individual tidak terkekang secara wajar khususnya berkaitan dengan hak asasi perorangan.
3.Proses itu berjalan diikat dengan aturan-aturan yang lues tetapi tegas.
4.Tidak terjadi pemaksaan dan keterikatan yang berlebihan tetapi kesejajaran, persamaan dalam hak-hak dan kewajiban asasi.
5.Menyangkut aspek sosial ekonomi politik.
6.Negara sebagai manager, mediator dan pelayan yang terkendali.

B. Masyarakat Madani dan hubungannya dengan Civil Society

Masyarakat madani merupakan istilah bahasa Indonesia. Munculnya istilah ”masyarakat madani” di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah ”masyarakat madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995.

Dewasa ini, di Indonesia istilah masyarakat madani semakin banyak didengungkan, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Perkembangan wacananya menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.
Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.

Namun, istilah masyarakat madani memiliki akar istilah bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab. Jadi, penelitian secara bahasa, latar belakang sosio-historis Islam atas istilah ”madani” sangatlah penting untuk memahami dinamika (kemungkinan perubahan makna dari zaman ke zaman) serta penarikan simpul makna yang dikandungnya (relevan) saat ini. Apakah civil society sepadan dengan Masyarakat Madani?
Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan sosial dan politik bangsa kita. Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.

Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.

Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang sistem budaya negara yang berbeda.
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Allatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan ad-Din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n. Kenyataan bahwa nama kota Yastrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah.

Menilik pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani merupakan representasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka, disebut sebagai ”masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi SAW”.

Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, organisasi (jamaah), dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “bahwa sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Muhammad sebagai kepala Negara”.

Jadi, secara historis pun antara konsep civil society dengan masyarakat madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi) memperjuangkan kedaulatan, agar seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan (terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama (piagam Madinah).

Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al din,yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al-Tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Sungguhpun begitu, di kalangan umat Islam, bisa terjadi perbedaan interpretasi mengenai masyarakat madani ini. Perbedaan tersebut timbul dari perbedaan interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al khair al ummah). Ia bisa diartikan sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara. Tetapi jika kita kembali kepada pengertian masyarakat madani, yang merupakan pemikiran baru di zaman modern ini, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil maupun negara. Masalahnya adalah mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder.

Kedua konsep ini secara tekstual dan konstektual mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain:
•Dari segi konsep dasar civil society dan masyarakat madani menghendaki hubungan yang harmonis antara tiga komponen utama dalam suatu komunitas baik itu hubungan individu kelompok masyarakat dan negara. Prinsip yang digunakan adalah kesejajaran, kesetaraan, kemitraan dan persamaan.
•Mengedepankan keadilan, keterbukaan dan demokratisasi.
•Konsep ini dapat diterapkan kapanpun juga sepanjang masyarakat di tempat itu bersedia menerima dan negara secara sukarela mengakomodir seluruh konsep-konsep dasar civil society dan masyarakat madani dan menjalankannya.
Adapun perbedaannya antara lain:
•Civil society bersumber dari akal pikiran manusia, sedangkan konsep masyarakat madani bersumber dari hadis Nabi, sebagai manusia pilihan yang penetapannya dipandu wahyu, yakni ayat-ayat Alquran.
•Isi dari konsep civil society tidak lengkap karena ia dibuat secara bertahap sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia, sedangkan konsep masyarakat madani memuat secara sempurna prinsip-prinsip dasar dan konsep-konsep universal mengenai hubungan manusia, masyarakat dan negara.
•Konsep civil society tidak mempunyai suatu naskah rujukan utama yang dapat berlaku universal kapan dan dimana saja. Konsep masyarakat madani bersumber dari piagam madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia.

C. Pandangan Hukum Islam terhadap Civil Society

Berdasarkan deskripsi ringkas mengenai konsep civil society tersebut, diajukan beberapa komentar dan kritik pada poin-poin kritis sebagai berikut :
Pertama, kritik atas pengislaman konsep civil society menjadi masyarakat madani. Sebagian intelektual seperti Nurcholis Madjid telah melakukan tafsiran ulang terhadap konsep civil society dengan mengajukan istilah ‘masyarakat madani’. Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, masyarakat ini dibangun atas asas yang tertuang di dalam “Piagam Madinah”, yang memiliki memiliki 6 (enam) ciri utama yaitu egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Ada baiknya dibahas secara ringkas alasan yang mendorong kalangan intelektual muslim menggunakan projecting back theory semacam itu. Dalam menerima paham-paham baru (neologism) yang muncul di era modern ini, intelektual muslim umumnya memiliki reservasi. Reservasi tersebut dilakukan karena mereka berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, konsep seperti civil society dibentuk berdasarkan prinsip moral dan tata nilai dari tradisi Eropa non-Islam (Judeo-Christian Traditions), di sisi lain, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya. Sebab, prinsip-prinsip dalam konsep tersebut telah menyatu secara organik dengan pranata kehidupan modern dan menjadi etika hidup masyarakatnya. Proses pengujian terhadap konsep baru umumnya dalam bentuk pencarian data sejarah masa lalu Islam, yang analog watak kualitatifnya dengan materi dalam konsep baru tersebut, seperti penganalogan masyarakat Madinah dengan civil society. Bila referensi pada data historis tidak ditemukan, maka dicari landasan tekstual (nash) sebagai alat justifikasi pengganti. Syara’ telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman :
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)

Kedua, kritik atas sekularisme sebagai asas konsep civil society. Dengan menulusuri sejarah pemikiran civil society, jelas bahwa konsep ini bertumpu pada aqidah (pemikiran dasar) sekularisme, yang merupakan landasan ideologi kapitalisme. Sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan, yang dengan sendirinya akan menghasilkan pemisahan agama dari negara.
Dalam Alquran terdapat perbandingan kontras antara Islam dan agama atau paham kufur yang diumpamakan oleh Allah seperti pohon yang baik dan pohon yang buruk. Allah SWT berfirman :
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”
Islam adalah kalimat yang baik, seperti pohon yang baik. Sedang kekufuran, syirik, dan yang semisalnya, adalah bagaikan pohon yang buruk, yang akarnya tidak menancap mendalam di dalam tanah, bahkan tercerabut dari tanah. Maka sudah sewajarnya pohon itu segera tumbang karena tidak punya ketegaran sedikit pun.
Ketiga, kritik atas demokrasi sebagai syarat civil society. Para penggagas civil society seperti Locke meniscayakan demokrasi bagi tumbuhnya civil society. Menurut para penganutnya, seperti Lincoln, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.
Tak sedikit kaum kapitalis yang menyebut ideologi kapitalisme mereka sebagai “sistem demokrasi”. Penyebutan ini tidak tepat, berdasarkan beberapa argumen berikut. Yang utama, bahwa demokrasi bukanlah pemikiran orisinal kaum kapitalis. Orang Yunani telah lebih dahulu mencetuskannya. Disamping itu, kaum kapitalis bukan satu-satunya pihak yang menerapkan demokrasi, karena kaum Marxis juga mengaku diri sebagai kaum demokrat. Sampai di akhir hayat ideologi sosialisme, kaum sosialis tetap mengklaim bahwa mereka telah menerapkan demokrasi.

Aspek terpenting dalam demokrasi, adalah ketetapannya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri’) adalah manusia itu sendiri, bukan Al Khaliq. Ini logis saja bagi penganut ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehidupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Al Khaliq.
Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur’an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qat’i tadi menegaskan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari’at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik. Allah SWT berfirman :
“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”
“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim.”
“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.”
Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum (termasuk menjalankan urusan pemerintahan) dengan apa yang diturunkan Allah, seraya mengingkari hak Allah dalam menetapkan hukum seperti halnya orang-orang yang meyakini demokrasi maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Alquran yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Allah berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qat’i dalalah.

Keempat, kritik atas kebebasan (Liberalisme) sebagai ciri menonjol civil society.
Gellner menyatakan bahwa di antara ciri menonjol dalam civil society adalah adanya kebebasan individu. Kebebasan dalam analisis Abdul Qadim Zallum dalam Hizbut Tahrir (1985) meliputi beberapa bentuk, yaitu (1) kebebasan beraqidah (hurriyah al-Aqidah), (2) kebebasan berpendapat (hurriyah ar-Ra`yi), (3) kebebesan pemilikan (hurriyah at-Tamalluk) dan (4) kebebasan bertingkah laku ( hurriyah al-Syakhshiyyah).
Dari paham kebebasan pemilikan itu muncullah sistem ekonomi kapitalisme yang dibangun atas asas manfaat. Kapitalisme inilah yang mendorong negara-negara Barat menjajah bangsa lain agar dapat merampas kekayaannya. Keempat macam kebebasan ini bertentangan dengan hukum Islam. Seorang muslim tidak dibenarkan bebas memilih aqidahnya. Jika seorang muslim murtad, maka diperintahkan untuk bertaubat. Apabila menolak dia harus dijatuhi hukuman mati. Sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang menukar agamanya maka bunuhlah” (HR. Muslim dan Ashabus Sunan)
Seorang muslim tidak dibenarkan bebas (mengatakan/ menulis) pendapat apa saja. Apa yang menjadi pandangan Islam, wajib menjadi pandangannya. Jika zina dalam Islam haram, wajib dia menyatakan bahwa zina itu haram. Tidak diperkenankan seorang muslim memiliki pendapat yang bukan Islam. Sebab, segala pendapat yang dinyatakan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’. Rasulullah SAW dalam konteks ini pernah bersabda : “Siapa saja yang telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menyatakan Al-Khair atau diam.” (HSR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)

Al-Khair dalam hadits di atas artinya adalah Islam atau apa yang dibenarkan Islam.
Selain itu, Islam juga telah melarang para pemeluknya untuk mempunyai kecenderungan walaupun baru berupa kecenderungan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah SAW bersabda : “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (Islam)”. (HR. Imam Nawawi)
Begitu pula seorang muslim tidak bebas memiliki apa saja sekehendaknya. Tidak sah baginya memiliki sesuatu kecuali melalui sebab-sebab pemilikan yang telah ditentukan oleh syara. Dia tidak bebas memiliki apa saja yang dia inginkan. Ia terikat dengan sebab-sebab pemilikan. Tidak sah baginya memiliki sesuatu dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan syara secara mutlak. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh memiliki sesuatu melalui cara riba, menimbun, menjual khamar, babi dan sebagainya yang dilarang oleh syara’. Jadi tidak diperkenankan seorang muslim memiliki sesuatu dengan salah satu jalan tadi. Oleh karena itu, kebebasan yang terdapat dalam konsep civil society tidak ditemukan keberadaannya dalam Islam, malah bertentangan dengan hukum Islam secara total.

III. PENUTUP

Kesimpulan

1.Civil society adalah suatu konsep bermasyarakat dan bernegara yang memberi kebebasan individual kepada setiap orang dengan batasan yang berkeseimbangan berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa mengorbankan hak-hak dan kepentingan individual yang asasi dalam bingkai mekanisme aturan yang berkeadaban dan berkeadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767). Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville. Studi Gellner berlanjut sampai pada kajian terhadap upaya menghidupkan kembali konsep civil society di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer
2.Masyarakat madani merupakan istilah bahasa Indonesia. Munculnya istilah ”masyarakat madani” di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah ”masyarakat madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang sistem budaya negara yang berbeda. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara.
3.Berdasarkan deskripsi ringkas mengenai konsep civil society tersebut, diajukan beberapa komentar dan kritik pada poin-poin kritis sebagai berikut: Pertama, kritik atas pengislaman konsep civil society menjadi masyarakat madani, Kedua, kritik atas sekularisme sebagai asas konsep civil society, Ketiga, kritik atas demokrasi sebagai syarat civil society dan Keempat, kritik atas kebebasan (Liberalisme) sebagai ciri menonjol civil society.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsudin. Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “ISLAMIA” : Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, Januari – Maret 2007.
Al-Attas, S. M. N. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. 2001.
Baso, Ahmad. Civil Society versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Chandoke, Neera. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana (ISTAWA), 1995.
Culla, Adi Surya. Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Cet.I; Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.
Cox, Harvey. The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company, 1967.
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996.
Kertanegara, Mulyadhi. Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam. Media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.
Mahasin, Aswab. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Ridwan,.etc, Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia, Sebuah Laporan dari penelitian dan seminar, Jakarta: LSAF dan ASIA Foundation, 1999.
Samin, Sabri. Menelusuri Konsep Civil Society dalam Islam, Jurnal al-Hikmah volume 6 Nomor 2, Makassar: PPIM, 2005.
Seligman, Adam B. The Idea of Civil Society, New York: The Free Press, 1998.
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Tocquiville, Alexis de. Democracy in America, Garden city N.Y: Anchor Books, 1969.
http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html, diakses tanggal 10 Oktober 2009

2 Response to HUKUM ISLAM DAN CIVIL SOCIETY

19 April 2012 pukul 21.16

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

9 Mei 2013 pukul 06.24

saya cukup mengapresiasi tulisannya. tapi kok ga ada kesimpulan ya? maksudnya, apa penulis tetap menganggap masy.madani itu bukanlah civil society shg layak untuk digunakan, atau penulils berkesimpulan bahwa masy madani pun tetap tidak layak digunakan karena multitafsir? aduh...maaf ya, bahasanya belepotan, maklum ibu-ibu ><

Posting Komentar