Jumat, 17 September 2010

المشقة تجلب التيسر

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menangani suatu konsep atau ilmu, para ulama merumuskan sepuluh hal yang penting, agar kita memahami secara komprehensif. Kesepuluh hal tersebut disimpulkan dalam bentuk syair yang berbunyi “Prinsip semua ilmu itu ada sepuluh macam: (1) batasannya, defenisinya, ta’rifnya; (2) objeknya; (3) buahnya, hasilnya, manfaatnya; (4) keutamaan atau kelebihannya dari ilmu yang lain; (5) relevansinya dengan ilmu yang lain; (6) pembangunnya, penggalinya, penemunya; (7) nama ilmunya; (8) sandaran ilmu tersebut; (9) hukum mempelajarinya; (10) contoh-contoh masalah di dalamnya. Barang siapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut akan memiliki kehormatan.[1]

Qawa’id fiqhiyyah sebagai salah satu cabang dari ilmu merupakan sebuah ilmu yang bisa kita katakan memiliki bagian-bagiab yang kompleks yang meliputi apa yang telah dikatakan dalam syair tersebut. Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

Kaidah-kaidah fiqih adalah kaidah-kaidah makro atau frekuentif yang mengatur persoalan-persoalan mikro fiqih yang serupa. Ia termasuk dalam kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqih . Mesji bersifat umum, objek kaidah-kaidah fiqih adalah perbuatan manusia yang menjadi subjek hukum .[2]

Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan peradaban yang semakin luas, telah menimbulkan berbagai persoalan yang kompleks yang membutuhkan sentuhan wilayah hukum teruatam kaitannya dengan hukukm Islam. Salah satu kaidah fiqih yang berusaha menyentuh wilayah tersebut adalah kaidah al-masyaqqah tajlib at-Taisir, kaidah ini berusaha membantu kita dalam menangani masalah-masalah yang terkait dengan kesulitan-kesulitan yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kaidah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, sebagai berikut:

1. Bagaimana memaknai kaidah al-Masyaqqah tajlib at-Taisīr?

2. Bagaimana memaknai konsep kesukaran dan jenis-jenisnya ?

3. Bagaimana memaknai kaidah-kaidah yang lahir dari kaidah al-Masyaqqah tajlib at-Taisīr ?

II. PEMBAHASAN

A. Makna Linguistik Kaidah

Masyaqqah (kesukaran) menurut asal-usul bahasanya berarti keletihan (al-juhd), kepayahan (al-‘inā’), dan kesempitan (asy-syiddah). Misalnya dikatakan: شَقَّ عَلَيْهِ اْلأَمْرُ شَقًّا وَمَشَقَّةً apabila sesuatu tersebut sangat melelahkan atau menyulitkan.[3] Allah berfirman: “Kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri”.[4]

Sementara, jalb asy-syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.[5]

Adapun makna terminologi kaidah tersebut adalah “hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syariat meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan”.[6] Maka makna yang terbentuk dari kaidah tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar’i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan, dan menghapus kesukaran serta kesukaran dari subjek hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apa pun.

Dasar argumentatif kaidah ini adalah firman Allah:[7]Dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Dan firman Allah:[8]Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” serta sabda Nabi Muhammad:

بُِعثْتُ بِالحَنَفِيَّةِ السَّمْحَةِ

Aku diutus dengan agama yang lurus dan penuh toleransi”.

Dasar-Dasar Pengambilan[9]

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِىْ الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia (Tuhan) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit kesempitan pun”. (QS. Al-Haj: 78)

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلًّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. AL-Baqarah: 286)

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu”. (QS. AL-Baqarah: 185)

Hadits-hadits Nabi SAW.:

َالَّديْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبُ الدَّيْنَ أَحَدٌ اِلاَّ غَلَبَهُ

Agama (Islam) itu mudah. Tiada seorang pun yang akan bisa mengalahkan/menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia”. (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah ra). Hadits semakna yakni:

َالَّدْينُ يُسْرٌ أَحَبُ الدَّيْنَ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَهُ

Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

يَسِرُّوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا

Mudahkanlah dan janganlah mempersukar”. (HR. Bukhari dari Anas)

اِنَّ اللهَ أَرَادَ بِهَذَا الأُمَّةِ اْليُسْرُ وَلمَ ْيُرِدْ بِهِمُ الْعُسْرَ

Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menhendaki kesukaran dengan mereka”.

Uraian Kaidah

Masyaqqah, ialah kesukaran yang hasil dari mengerjakan sesuatu perbuatan, di luar dari kebiasaan. Masyaqqah ini menimbulkan hukum rukhsah atau taklif syari’at dan dia melengkapi darurat (idtirar) dan sebagaimana melengkapi hajat.

اْلضَّرُوْرَةُ مَاالْتَحَأَ فِيْهَا المَرْءُ اِلَى حِفْظِ دِيْنِهِ اَوْ نَفْسِهِ اَوْ عَقْلِهِ اَوْ نَسْلِهِ اَوْ مَالِهِ مِنْ الْهَلَاكِ وَالْحَاَجِة هِيَ مَا كَانَتْ لَازِمَةً لِصَلَاحِ اْلمَعِيْشَةِ[10]

Darurat adalah apa yang harus dilakukan manusia untuk memelihara agamanya atau jiwanya, atau akalnya, atau keturunannya, atau hartanya dari kebinasaan. Dan hajat itu ialah sesuatu yang harus dilakukan untuk kebaikan penghidupan”.

Segala hukum pada asalnya adalah umum, tidak melihat kepada sesuatu keadaan tertentu atau seseorang tertentu. Hanya kadang-kadang dalam pelaksanaannya menimbulkan kesukaran. Dalam hal ini al-Ghazali, berkata:

كُلُّ مَاتَجَاوَزَ حَدُّهُ اِنْعَكَسَ اِلَى ضِدِّهِ

Segala yang melampaui batasnya, bertukar kepada lawannya”.

Oleh sebab itu perlu diadakan jalan untuk menghindari kesukaran dengan mengadakan pengecualian hukum.

Sedangkan macam-macam rukhsah, para ulama ada yang membagi pada lima bagian:[11]

1. Wajib. Contohnya: Makan bangkai hukum asal adalah haram, tap karena darurat, sekiranya ia tidak makan bias menyebabkan kematian, maka dalam keadaan ini hukumnya bias beubah menjadi wajib.

2. Sunnah. Misalnya: Shalat duhur bial dilakukan dua rakaat maka hukumnya adalah haram, tetapi karena bepergian jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnat, sebab ia diperbolehkan mengqasar shalatnya.

3. Mubah. Misalnya: Uang panjar (uang yang terlebih dahulu dibayarkan, sebelum ada barang) hukumnya tidak boleh, tetapi karena sangat dibutuhkan hukumnya berubah menjadi mubah.

4. Ada yang khilaf al-Aula. Misalnya: Shalat jamak bagi orang yang sedang tidak bepergian hukumnya haram, tetapi karena sakit, maka berubah menjadi khilaf al-Aula.

5. Makruh. Misalnya: Sahalat qasar asal hukumnya tidak boleh, tetapi karena bepergian yang hanya 80 km, maka hukumnya menjadi makruh.

Kriteria kesukaran Syar’i

Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan kemudahan sayr’i maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum dan fatwa. Sehingga penentuan konsep “kesukaran” dan kriteria yang ada di dalamnya merupakan satu hal penting yang tidak dapat diremehkan dan merupakan keniscayaan untuk dikaji. Secara umum para ulama membagi kriteria masyaqqah pada tiga bagian yakni:[12]

1. Al-masyaqqah al-‘Azimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.

2.Al-masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, makatidak ada kemudahan di situ. Inilah yang penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.

3.Al-masyaqqah al-Khafīfah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening saat rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.

Menurut Al-‘Izz bin Abdussalam, kesukaran ada dua macam: Pertama, kesukaran yang tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya. Maksudnya pelaksanaan ibadah tidak mungkin terjadi tanpa disertai kesukaran tersebut, misalnya, kesukaran pada waktu wudhu dan mansi karena air yang sifatnya dingin, kesukaran melaksanakan puasa karena udara siang yang panas dan waktunya yang panjang, dan lain-lain. Kedua, kesukaran yang secara umum dapat terlepas dari ibadah, yaitu kondisi umum di mana ibadah dapat dilakukan tanpa disertai factor tersebut, misalnya kesukaran yang menimbulkan bencana dan kesukaran besar.[13]

Menurut Imam Asy-Syatibi, kesukaran menurut pengertian yang umum mengandung dua bentuk kesukaran, yaitu: Kesukaran yang mampu dipikul dan yang tidak mampu dipikul. Pembebanan hukum yang disertai kesukaran di luar kemampuan subjek hukum adalah bentuk taklif yang tidk mampu direalisasikan, dan bentuk ini mustahil dan tidak mungkin terjadi secra syar’i. Bentuk kesukaran yang dapat dipikul subjek hukum juga tidak akan dibebankan oleh asy-Syari’ kepada manusia apabila kesukaran tersebut di luar kebiasaan dalam aktivitas sehari-hari. Menurut Asy-Syatibi jika kaesukaran sudah menjadi kebiasaan, maka ia bukan lagi sebuah kesukaran dan tidak dianggap sebagai bentuk kesukaran secara syar’i. Bentuk kesukaran tersebut bersifat alamiah dan sesuai hokum alam dan tidak menghalangi pada umumnya suatu tindakan.[14]

Menurut ulama Syi’ah, perbuatan yang mengandung masyaqqah ada dua macam: Pertama, apa yang masih mampu ditanggung menurut kebiasaan, dilakukan oleh orang-orang yang berakal dan mereka hindari. Perbuatan ber-masyaqqah semacam ini boleh dibebankan, bahkan sebagian besar taklif masuk dalam dalam kategori ini. Kedua, apa yang dihindari oleh orang yang berakal dan mereka jauhi, serta tidak mereka laksanakan. Perbuatan ber-masyaqqah semacam ini tidak boleh dijadikan taklif, lepas dari apakah ia menimbulkan ketidakteraturan tatanan dunia atau belum menimbulkannya.[15]

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis kesukaran ada dua macam, yakni: Kesukaran yang menurut kebiasaan yang berlaku di antara manusia mampu mereka tanggung dan mereka kerjakan. Misalnya kesukaran yang terjadi akibat puasa, haji dan sebagainya. Kesukaran lainnya adalah kesukaran yang menurut kebiasaan manusia di luar batas kemampuan mereka, sehingga ia tidak ditanggung kecuali dengan mengerahkan kemampuan tertinggi, misalnya kesukaran yang dapat menghilangkan jiwa.

Dalam ilmu fikih, kesukaran yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu:[16]

1. Sedang dalam perjalanan (al-Safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat.

2. Keadaan sakit. Misalnya boleh tayammum ketika sulit memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka puasa bulan ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.

3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa, maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa-menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.

4. Lupa (al-Nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.

5. Ketidaktahuan (al-Jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.

6. Umum al-balwa. Kesukaran yang umum terjadi. Misalnya, kebolehan bai al-Salam (uangnya dulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekedar yang dibutuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.

7. Kekurang mampuan bertindak hukum (al-Naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.

Adapun kemudahan atau keringanan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:[17]

1. Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang mentruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (istitha’ah).

2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qasar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.

3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/atau mandi wajib diganti dengan tayammum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.

4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’ taqdim di Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.

5. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ ta’khir di Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ takhir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.

6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.

7. Takhfif taghyirm, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.

Adapun kaidah-kaidah yang dapat diambil dari kaidah pokok tersebut antara lain:[18]

1) اِذَا ضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”

Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula.[19] Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:

اِذَا إِتَّسَعَ ضَاقَ

Apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit

Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:

اِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ إِتَّسَعَ وَاِذَا إِتَّسَعَ ضَاقَ

Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit[20]

Kaidah ini juga menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan kaidah tersebut adalah kaidah:

كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ إِنْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ

Setiap yang melampaui batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya

Atau akidah:

مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ

Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi

Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan puasa. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan puasa ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melakanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.

2) اِذَا تَعَذَّرَ الأَصْلُ يُصَاُر إِلَى البَدَلِ

Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantiannya

Contohnya: tayammum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang menggasap harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya buku), maka penggantinya buku yang baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga di pasaran.

Dalam fiqh siyasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Misalnya, ada istilah PJMT (pejabat yang melaksanakan tugas), karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai penggantinya.

3) مَا لَا يُمْكِنْ الَتحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوْا عَنْهُ

Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”.

Contohnya: pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.

4) الرُخْصَ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَصِى

Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan[21]

Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakaukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau untuk berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.

5) اِذَا تَعَذَّرَتْ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَازِ

Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya[22]

Contohnya: seseorang berkata:”saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kyai Ahmad”. Padahal semua tahu bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia.

6) اِذَا تَعَذَّرَ إِعْمَالُ اْلكَلاَمِ يُهْمَلْ

Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan

Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah ditelti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

7) يُعْتَفَرُ فِيْ الدَّوَامِ مَا لاَ يُعْتَفَرُ فِيْ اْلِإبْتِدَاءِ

Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya[23]

Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis masa waktu penyewaan, dan dia ingin memperbarui sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.

8) يُعْتَفَرُ فِيْ اْلِإبْتِدَاءِ مَالاَ يُعْتَفَرُ فِيْ الدَّوَامِ

dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya[24]

Ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena sepersusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan pesemendaan, atau sepersusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

9) يُعْتَفَرُ فِيْ التَّوَابِعْ مَالاَ يَعْتَفَرُ فِيْ غَيْرِهَا

Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya[25]

Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanahyang diwakafkan.

Di kalangan mazhab Maliki seperti Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, menyatakan bahwa kaidah al-masyaqqah dengan al-dharar terdapat kesamaan karena kedua-duanya harus dihilangkan demi untuk kemaslahatan hidup. Selain itu sering disamakan antara al-masyaqqah al-azhimah (kesulitan yang sangat berat) dengan kemudaratan. Dalam penerapan dan contoh-contoh antara kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir dan kaidah al-dharar yuzal sering memiliki kesamaan-kesamaan.

Al-Burnu juga memasukkan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan darurat ke dalam kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir. Alasannya keadaan darurat banyak berhubungan dengan kaidah masyarakat tersebut.[26]

Akan tetapi, ulama seperti Imam Tajuddin al-Subki (w.771 H), Imam ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H),[27] dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memisahkan kedua kaidah tersebut pada tempat yang berbeda. Kaidah al-dharar yuzal lebih bersifat filosofis, meskipun demikian diturunkan kepada materi-materi fikih yang bersifat teknis. Sedangkan kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat tidak menyulitkan dalam pelaksanaannya. Kedua, kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir bertujuan untuk meringankan hal-hal yang memberatkan. Sedangkan kaidah al-dharar yuzal bertujuan untuk menghilangkan kemudaratan, setidaknya meringankan. Dalam hal meringankan inilah bertemunya kedua kaidah tersebut. Tetapi dalam prinsip kedua, kaidah tersebut berbeda. Ketiga, kaidah al-dharar yuzal berkaitan erat dengan maqashid al-syariah (hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-mal, hifzh al-nasl, dan hifzh al-ummah) dari sisi sadd al-dzari’ah (menuutp jalan kepada kemudaratan). Sedangkan kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir berkaitan dengan perbuatan mukallaf.[28]

III. PENUTUP

Kesimpulan:

1. Masyaqqah (kesukaran) menurut asal-usul bahasanya berarti keletihan (al-juhd), kepayahan (al-‘inā’), dan kesempitan (asy-syiddah). Se mentara, jalb asy-syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik. Adapun makna terminologi kaidah tersebut adalah “hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syariat meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.

2. Sedangkan macam-macam rukhsah, para ulama ada yang membagi pada lima bagian:

Wajib, sunnah, mubah, khilaf al-Aula dan makruh. Secara umum para ulama membagi kriteria masyaqqah pada tiga bagian yakni: Al-masyaqqah al-‘Azimmah (kesulitan yang sangat berat, Al-masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan), Al-masyaqqah al-Khafīfah (kesulitan yang ringan). Dalam ilmu fikih, kesukaran yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu: Sedang dalam perjalanan (al-Safar), keadaan sakit, keadaan terpaksa, lupa (al-Nisyan), ketidaktahuan (al-Jahl), umum al-balwa dan Kekurang mampuan bertindak hukum (al-Naqsh). Adapun kemudahan atau keringanan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu: Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan, Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, Takhfif taghyirm, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.

3. Adapun kaidah-kaidah yang dapat diambil dari kaidah pokok tersebut antara lain:

10) اِذَا ضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ

(2اِذَا تَعَذَّرَ الأَصْلُ يُصَاُر إِلَى البَدَلِ

(3 مَا لَا يُمْكِنْ الَتحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوْا عَنْهُ

(4 الرُخْصَ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَصِى

(5اِذَا تَعَذَّرَتْ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَازِ

(6 اِذَا تَعَذَّرَ إِعْمَالُ اْلكَلاَمِ يُهْمَلْ

(7يُعْتَفَرُ فِيْ الدَّوَامِ مَا لاَ يُعْتَفَرُ فِيْ اْلِإبْتِدَاءِ

(8يُعْتَفَرُ فِيْ اْلِإبْتِدَاءِ مَالاَ يُعْتَفَرُ فِيْ الدَّوَامِ

(9يُعْتَفَرُ فِيْ التَّوَابِعْ مَالاَ يَعْتَفَرُ فِيْ غَيْرِهَا

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, al- ‘Izz bin. Qawa’id al-Ahkam II, Dar Al-Jabl, tt.

Ahmad, Zainal Abidin. Ushul Fiqh, Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Al-Burnu, Muhammad Sidqi Ibnu Ahmad. Al-Wajiz fi Idhah al-Qawā’id al-Fiqh al-kulliyat Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1983.

Al-Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Ibn Bakr. Al-Asybāh wa al-Nazāhir, Beirut: Dār Kitab al-‘Arabi, 1987.

Al-Zuhaili, Wahbah. Nazharriyyah al-darūrah al-Syar’iyyah Muqāranah ma’a al-qanūn al-Wad’I, Damaskus: Maktabah al-Farābi, 1982.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam, Cet.IV; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1990.

Asy-Syathibi, Abu Ishak. Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid II, Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975.

Azzam, Abd al-‘Aziz Muhammad. Qawā’id al-Fiqh al-Islamiyyah, Mesir: Maktabah al-Risālah Dauliyah, 1999.

Dahlan, Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid IV , Cet.I; Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih, Cet.I; Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Mandzur, Ibnu. Lisān al-‘ārab, Juz. II Beirut: Dār al-Fikr, 1994.

Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih, Sejarah dan Kaidah asasi, Cet.I; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001.

Musbikin, Imam. Qawā’id al-Fiqhiyyah, Cet.I; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001.

Washil, Nashr Farid Muhammad, Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawā’id Fiqhiyyah, Cet.I; Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009.



[1]Al-Syekh Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘ibadi al-Hadrami, Idhah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (tt.: Haramain, tt.), h. 9, dikutip dari A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Cet.I; Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 1.

[2]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawā’id Fiqhiyyah (Cet.I; Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009), h. 69-70.

[3]Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Ārab Juz. XIV (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 438. Lihat juga, Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid IV (Cet.I; Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 1149-1150.

[4]QS. An-Nahl (16): 7.

[5]Ibid., h. Juz V.259.

[6]Muhammad Sidqi Ibnu Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah al-Qawā’id al-Fiqh al-kulliyat (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1983), h, 130.

[7]Qs, al-Hajj (22): 78.

[8]QS. Al-Baqarah (2): 185.

[9]Imam Musbikin, Qawā’id al-Fiqhiyyah (Cet.I; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), h. 82-83.

[10]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 33.

[11]Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, Sejarah dan Kaidah asasi (Cet.I; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), h. 144-145.

[12]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Cet.I; Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 57-58.

[13]Al-‘Izz bin Abdussalam, Qawa’id al-Ahkam II (Dar Al-Jabl, tt), h. 9-10.

[14]Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid II (Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 80-81.

[15]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawā’id Fiqhiyyah (Cet.I; Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009), h. 69-70.

[16]A.Djazuli, op.cit,. h. 56-57.

[17]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Ibn Bakr al-Suyuti, Al-Asybāh wa al-Nazāhir (Beirut: Dār Kitab al-‘Arabi, 1987), h. 170. Lihat juga Abd al-‘Aziz Muhammad Azzam, Qawā’id al-Fiqh al-Islamiyyah (Mesir: Maktabah al-Risālah Dauliyah, 1999), h. 144-145.

[18]A.Djazuli.,Op.cit, h. 61-65.

[19]Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Cet.IV; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1990), h. 453.

[20]Wahbah al-Zuhaili, Nazharriyyah al-darūrah al-Syar’iyyah Muqāranah ma’a al-qanūn al-Wad’i Damaskus: Maktabah al-Farābi, 1982), H. 131.

[21]Imam Musbikin, op.cit., h. 89.

[22]A.Djazui,op.cit., h. 64.

[23] Ibid.

[24]Ibid.

[25]Ibid.

[26]Al-Burnu, Op.cit., h.143.

[27]Al-Suyuti, Op.cit., h. 84.

[28]A. Djazuli, Op.cit., h. 66.

1 Response to المشقة تجلب التيسر

Anonim
31 Januari 2022 pukul 12.55

Online Baccarat - How To Play and Win Money in Online Casinos
In this guide, febcasino we take a look 메리트 카지노 at all of the best online gambling options worrione and help guide you to playing at online casinos.

Posting Komentar