Jumat, 17 September 2010

ZAKAT PROFESI

0

ZAKAT PROFESI

(Pandangan Fuqaha, Dalil-Dalil, dan Wajhu al-Dalalah)

Kritik Dalil (Munaqasyah al- Adillah), Kesimpulan dari perbandingan)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT menurunkan agama Islam ke dunia sebagai rahmat bagi alam semesta. Tujuan agama Islam adalah kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, memberikan turunan bagi tata hidup dalam kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah (hablun minallah) maupun hubungan manusia dengan manusia (hablun minan nas).

Salah satu sendi pokok ajaran Islam adalah zakat yang memuat kedua dimensi tersebut, disamping ibadah yang memiliki dimensi vertikal, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (hablun minallah), juga memiliki dimensi horizontal, sebagai kewajiban kepada sesama manusia (hablun minan nas).

Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah dalam penggunaan harta. Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan umat manusia seluruhnya, karena itu harus diarahkan guna kepentingan bersama. Selain itu fungsi zakat juga sebagai pembersih harta, sebagaimana pengertian zakat itu sendiri menurut bahasa merupakan masdar dari زكا berarti bersih,[1] karena dengan membayar zakat harta dan dirinya menjadi bersih dari kotoran dan dosa yang menyertai yang disebabkan oleh harta yang dimilikinya tersebut, adanya hak-hak orang lain menempel padanya.[2] Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya berkewajiban untuk menunaikannya. Zakat juga sangat penting artinya bagi peningkatan kehidupan ekonomi umat dan kesejahteraannya.[3]

Seiring dengan perkembangan zaman, dewasa ini usaha-usaha ekonomi di berbagai sektor baik pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, perindustrian, jasa dan lain sebagainya juga semakin luas yang semuanya itu mendatangkan keuntungan harta benda. Berkaitan dengan semakin luasnya usaha ekonomi tersebut, perlu adanya penataan dalam pelaksanaan zakat yang pada akhirnya melahirkan apa yang disebut zakat profesi. Zakat profesi[4] merupakan bagian dari wacana Islam kontemporer yang tentu saja tidak kenal dalam khasanah keilmuan Islam di masa Rasullullah.

Hasil profesi (pegawai negari/ swasta, konsultan, dokter, notaris, wiraswasta, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu, oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas,khususnya yang berkaitan dengan “zakat”. Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada dasarnya/ hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka (sesuai dengan ketentuan syara’).[5]

Oleh karena itu untuk mengetahui lebih lanjut tentang eksistensi zakat profesi maka akan dibahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang akan menjadi rumusan masalah makalah ini adalah:

1. Bagaimana pandangan fuqaha tentang zakat profesi?

2. Bagaimana dalil-dalil dan wajhu al-dalalahnya?

3. Bagaimana kritik dalil (munaqasyah al-adillah) tentang zakat profesi?

4. Bagaimana kesimpulan dari perbandingannnya?

II. PEMBAHASAN

A. Pandangan Fuqaha tentang Zakat Profesi

Zakat penghasilan atau zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/ lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk zakat wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.[6]

Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan maupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.[7]

Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulama pun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy yang menuliskan naskah ini dalam kitab Zakat-nya. Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% haul (berputar selama setahun). Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengkiyaskan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.[8]

Al-Qardhawi didalam kitabnya Fiqhu az-Zakāh menulis tentang zakat Kasbul ‘Amal wal-Mihan al-Hurrah, yang dimaksud dengan kasbul amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Sedangkan yang dimaksud dengan al-mihānul hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain, seperti pekerjaan seorang dokter, swasta, pemborong, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu, dan lain sebagainya.[9]

Al-Qardawy menceritakan bahwa pada tahun 1952 M di Damsyik, Abdurrahman Hasan dan Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahhab Khallaf telah melontarkan masalah tersebut pada perkuliahan mereka. Mereka mengkiyaskan upah kerja dan penghasilan usaha bebas dengan pendapatan uang sewa rumah menurut mazhab Ahmad. Imam Ahmad berpendapat bahwa barangsiapa menyewakan rumahnya dan ia menerima uang sewa sebanyak satu nisab, maka wajib zakat atas nya pada waktu menerima uang sewa itu, tanpa syarat menunggu setahun.[10]

Selanjutnya menurut Al-Qardawy, sebenarnya masalah gaji, upah kerja, penghasilan wiraswasta ini termasuk kategori mal mustafād, yaitu harta pendapatan baru, yang bukan harta yang sudah dipungut zakatnya. Mal mustafād ini mencakup segala macam pendapatan yang diperoleh oleh orang Islam dan baru dimilikinya melalui suatu cara yang sah.[11]

Mal mustafād sudah disepakati oleh jamaah sahabat dan ulama-ulama sebelumnya untuk wajib dikenakan zakat. Perbedaan pendapat yaitu pada waktu wajib zakat, tentang persyaratan haul.[12]

1. Menurut Abu Hanifah

Mal mustafād tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun di tangan pemiliknya, kecuali apabila pemiliknya, kecuali apabila pemilik mempunyai hatra sejenis yang pada permulaan tahun sudah mencapai satu nisab, maka mal mustafād dipungut zakatnya bersamaan dengan harta yang sudah ada setelah harta yang sudah ada itu mencapai satu tahun.

2. Menurut Malik

Mal mustafād tidak dizakati sebelum sempurna setahun, baik si pemilik mempunyai harta yang sejenis ataupun tidak, kecuali binatang ternak yang ada.

3. Menurut asy-Syafi’i

Mal mustafād tidak dizakati sebelum setahun, meskipun si pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali anak ternaknya sendiri, maka mal mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri dizakati mengikuti induknya.

4. Menurut Ibnu Hasm

Mengkritik penafsiran ulama empat tersebut dan ia menyatakan pendapat-pendapat tersebut tanpa dalil sama sekali. Menurut dia, semua harta itu dsyaratkan setahun, baik harta mustafād maupun tidak, baik anak binatang ternak maupun tidak.

5. Menurut Dawud az-Zahiri

Mal mustafād wajib zakat tanpa syarat samapi setahun

6. Menurut Yusuf Qardhawy

Mal mustafād seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, dan lain sebagainya wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sampainya setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut.[13]

Selanjutnya, ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishab dan kadar zakat profesi, yaitu:

1) Menganalogikan zakat profesi kepada hasil pertanian, baik nishab maupun kadar zakatnya 5% atau 10% (tergantung kadar keletihan yang bersangkutan)

2) Menganalogikan dengan zakat perdagangan atau emas. Nishabnya 85 gram emas murni 24 karat, dan kadar zakatnya 2,5%.

3) Menganalogikan nishab zakat penghasilan dengan hasil pertanian. Nishabnya senilai 653 kg, beras, sedangkan kadar zakatnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5% [14]

Sedangkan perbedaan pendapat lain mengenai perbedaan tersebut adalah:[15]

1. Pendapat Dr. Yusuf Qardhawi yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat uang. Sehingga jumlah nisab serta besarnya presentase zakatnya disamakan dengan zakat uang; yaitu 2,5% dari sisa pendapatan bersih setahunan. (Yaitu, pendapatan kotor dikurangangi jumlah pengeluarkan untuk kehidupan hidup layak, untuk makanan, pakaian, serta cicilan rumah selama setahun, jika ada).

2. Pendapat yang nukil dari Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat hasil pertanian (juga zakat hasil eksploitasi gedung-gedung dan kendaraan-kendaraan seperti telah disebutkan sebelum ini), baik dalam nisab maupun presentase zakat yang wajib dikeluarkan. Yaitu 10% dari sisa pendapatan bersih. Atau pendapatan yang kotor dikurangi biaya yang diperlukan untuk kebetuhan hidup layak seperti dalam pendapat pertama diatas.

3. Pendapatan Mazhab Imamiyah (atau yang biasa juga disebut mazhab Ahlul-Bait) yang menetapkan zakat profesi sebesar 20% dari hasil pendapatan bersih; sama seperti dalam laba perdagangan serta setiap hasil pendapatan lainnya, berdasarkan pemahaman mereka berkaitan dengan firman Allah swt dalam Qs. Al-Anfal [8]: 41 tentang ghanimah.

Kalau nishab penghasilan pegawai dan usaha jasa ini kita kembalikan kepada mal mustafād maka para sahabat dan ulama fiqih menyatakan: wajib menzakati mal mustafād pada waktu menerimanya apabila mencapai satu nishab maka berarti bagi pegawai, buruh yang gajinya perbulan sudah mencapai seharga 85 gram emas baru diwajibkan zakat. Mereka yang gajinya dibawah standar minimal itu tidak diwajibkan menzakati gajinya.[16]

Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:[17]

1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.

2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.

Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini :[18]

· Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000. Gaji setahun = Rp 24.000.000

1 gram emas = Rp 100.000. Nishab = Rp 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000

Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,-

· Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000. Gaji setahun = Rp 24.000.000

Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000

Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000

Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 – 12.000.000 = Rp 12.000.000

1 gram emas = Rp 100.000. Nishab = Rp 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000

Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,-

Perbedaan pendapat ini dapat pula dijadikan acuan bagi penentuan besarnya presentase zakat bagi masing-masing karyawan:[19]

Pertama, seorang karyawan atau lainnya yang penghasilannya, hanya mencukupi kebutuhan hidupnya secara pas-pasan, dan kalaupun masih memiliki sedikit kelebihan untuk ditabung , jumlahnya pada akhir tahun tidak mencapai nisab. Orang seperti ini, tidak wajib mengeluarkan zakat atas penghasilannya tersebut. Kecuali jika ia ingin bersedekah dengan suka rela, yang pahalanya juga besar sekali.

Kedua, seorang karyawan yang penghasilannya sedikit melebihi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya, sehingga ia mampu, atau diperkiraan mampu, menabung sejumlah tertentu yang pada akhir tahun dapat mencapai nisab atau sedikit diatas itu. Orang seperti ini, wajib mengeluarkan zakat, paling sedikit 2,5% dari kelebihan penghasilan itu.

Ketiga, seorang karyawan yang menempati posisi cukup tinggi dalam sebuah perusahaan atau departemen dan sebagainya. Sehingga penghasilannya melebihi apa yang diterima oleh karyawan dalam kedua contoh diatas, bahkan dapat digolongkan sebagai ‘cukup kaya’. Orang seperti ini seyogyanya mengeluarkan zakat sedikitnya 2,5% langsung dari seluruh penghasilannya (sebelum dikurangi untuk keperluan hidupnya yang wajar). Atau 100% dari penghasilan bersihnya (setelah dikurangi untuk keperluan hidup).

Keempat, seorang karyawan yang penghasilannya lebih tinggi lagi dari contoh ketiga. Apalagi jika disamping penghasilan tetapnya, ia sewaktu-waktu masih menerima pula pelbagai honorarium hasil seminar, wawancara, tulisan dan sebagainya. Sehingga disamping zakat seperti tersebut diatas, sudah selayaknya pula ia mengeluarkan 20% dari penghasilannya yang tak terduga itu.

Perlu diingat, bahwa didalam menetapkan kewajiban zakat gaji, uang jasa, dan lain sebagainya ini kita harus kembali kepada prinsip sumber zakat bahwa itu dikenakan pada benda yang bernilai ekonomis, produktif dan menyebabkan yang mempunyai masuk kedalam kategori kaya yang berarti benda itu harus milik sendiri (milk tām), mencapai satu nisab dan luar kebutuhan pokok. Oleh karenanya, didalam penetapan jumlah yang mencapai satu nisab itu harus bersih artinya sesudah dipotong nafkah keluarga, hutang-hutang yang ada dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya, apabila tidak mempunyai sumber ekonomi yang lain, karena zakat itu baru wajib setelah sampai satu nisab diluar kebutuhan-kebutuhan pokok sekeluarga (orang yang wajib zakat dan semua orang yang wajib dinafkahi).[20]

Zakat profesi berdasarkan apa? Penghasilan kotor sebelum dikurangi pengeluaran pokok sehari-hari ataukah penghasilan bersih? Dr. Yusuf Al- Qardhawi, seorang ahli fiqih zakat , mengajukan dua solusi. Untuk mereka yang berpenghasilan pas-pasan mereka mendasarkan zakatnya pada penghasilan bersih.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula kalangan yang tak setuju dengan zakat profesi bukan karena tidak mau membayar zakat. Tetapi karena tidak mau terjerumus kedalam bid’ah.

Keragaman profesi sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat. Pada zaman itu selai petani, peternak, penambang, juga ada tabib, penjahit, pembuat bagunan, gubernur, dsb. Lalu jika Allah dan rasul tidak memerintahkan adanya zakat profesi, mengapa kita mengada-ngadakannya? Adakah kata atau istilah zakat profesi didalam Alqur`an dan hadist? Jika tidak itu sudah bid’ah . Apalagi bid’ah dalam satu perkara ibadah yang wajib, yaitu zakat. Ibarat shalat, selain sholat subuh, zuhur, ashar, magrib, dan isya, kita menambah satu shalat wajib lagi misalnya: shalat bid’ah, karena kita beranggapan itu baik dengan berbagai dalih dan analogi. Menganggap bahwa zakat mal sudah cukup. Jika kurang, kita bisa bersedekah.[21]

B. Dalil-dalil dan Wajhu al-Dalalahnya

Hukum zakat penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqh. Mayoritas ulama madzhab empat mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman, Syekh Muhammad Abu Zahra, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardawi, Syekh Wahbah Az- Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib. Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Mu’ awiyah), dan sebagian Tabiin (Az-Zuhri, Al-Hasan, Al-Bashri dan Makhul) juga berpendapat Umar bin Abdul Aziz, al-Baqir, al-Shadiq, Al-Nashir, dan Dawud al-Zahiyy.[22]

Adapun dasar hukum syariat tentang zakat profesi adalah berdasarkan keumuman dari firman Allah SWT:

يَأَيُّهَا اْلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ

Terjemahannya:

Hai orang-orang yang beriman, (nafkahkanlah di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untyk kamu …” (QS Al Baqarah:267)[23]

Juga firman Allah:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَ قَةً تُطَهِّرُ هُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ

Terjemahannya:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS At-Taubah:103)

Sementara itu kalangan yang menganggap bahwa zakat profesi itu dikeluarkan dengan mensyaratkan haul

Sabda Rasulullah SAW:[24]

لاَزَكاَةَ فِىْ ماَلٍ حَتىَّ يَحُوْلُ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Artinya:

Dan tidak ada kewajiban zakat didalam harta sehingga mengalami putaran haul” [HR. Tirmidzi]

Juga dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda[25]

من استفد مالا فلا زكاة عليه حتى يحول عليه الحول

Artinya:

Barang siapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul”. (HR. Tirmizi).

Selanjutnya kalangan yang menganggap bahwa zakat profesi itu tidak ada dalam Islam dan menilainya bid’ah berdasarkan Sabda Rasulullah dalam riwayat Bukhary-Muslim yaitu:[26]

من احد ث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak

Juga dari Jabir RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu khutbah Jumatnya:[27]

فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الامور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

Artinya:

Amma Ba’du: Sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Alqur`an), dan sebaik-baik petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang diadakan, dan setiap bid’ah (yang diadakan ) itu sesaat” (HR. Muslim)

Mengingat bahwa agama Islam adalah agama yang sudah sempurna, sebagaimana firman Allah SWT:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسلآمَ دِيْنَا

Terjemahannya:
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al-Maidah : 3)[28]

Juga berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ() وَ اِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنْ السَّبِيْلِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ

Terjemahannya:

Barang siapa yang berpaling dan pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Alqur`an), Kami adakan baginya setan yang menyesatkan, maka setan itulah teman yang selalu menyertainya. Sesungguhnya setan- setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” (QS. Az-Zukhruf: 36-37)[29]

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah)

Penolakan Syaikh Yusuf Qardhawi akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu selama 1 tahun. Padahal telah datang sejumlah hadist yang menerangkan tentang haul. Ketentuan setahun  itu  ditetapkan  berdasarkan  hadis-hadis dari  empat  sahabat,  yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah r.a. Namun hadist-hadist ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi. Karena Jelaslah  bahwa  dalam  hadis   tersebut   terdapat   banyak kekurangan.  Yaitu  dari  pihak  Haris yang diduga pembohong karena  sebagian  saja  mengatakan  hadis   itu   ke   pihak sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya, dan dari segi cacat seperti  disebut  oleh  Ibnu  Muwaq  dan dikuatkan  oleh  Ibnu  Hajar.  Dan  menurut  Yusuf Qardhawi,  Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang  yang  menganggap bahwa  hadis  Ali  adalah  hasan, bila mengetahui cacat yang diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh  Ibnu Hajar  dalam  bukunya  tersebut, pasti akan meralat pendapat mereka, dan  akan  menyatakan  bahwa  hadis  tersebut  betul bercacat.[30]

Oleh karena penolakan ini, maka menurut pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila seorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dari penolakan haul ini (karena dianggap tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.[31]

Ternyata, terjadi lagi perbedaan pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat profesi itu termasuk zakat mal dan pendapat kedua mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada. Pendapat ekstrim bahkan menyebutkan bahwa zakat profesi adalah bid’ah (mengada-ada). Pendapat penentang zakat profesi Mereka mendasarkan pandangan bahwa masalah zakat sepenuhnya masalah ubudiyah. Sehingga segala macam bentuk aturan dan ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas atau contoh langsung dari Rosulullah SAW. Bila tidak ada, maka tidak perlu membuatbuat aturan baru. Di zaman Rosulullah SAW dan Salafus Sholeh sudah ada profesi-profesi tertentu yang mendapatkan nafkah dalam bentuk gaji atau honor. Namun tidak ada keterangan sama sekali tentang adanya ketentuan zakat gaji atau profesi. Bagaimana mungkin sekarang ini ada dibuat-buat zakat profesi.

Zakat profesi memang tidak disebutkan dalam hadist. Para ulama melakukan ijtihad dengan mendasarkan bahwa zaman sekarang berbeda dengan zaman Rasulullah. Bagaimana dengan nishab (batasan)-nya? Tergantung dengan kiyas (analogi) yang dilakukan. Jika diqiyaskan dengan zakat pertanian, maka nishabnya adalah 85 gram emas, dengan zakat sebesar 2,5%. Jadi diqiyaskan dengan zakat pertanian, maka nishabnya adalah 653 kg padi. Zakatnya 5%.

Kalau kita kembalikan kepada kalangan yang menganggap bahwa zakat profesi itu tidak ada, pertanyaan yang timbul kemudian bagaimana dengan prinsip keadilan? Kenapa hanya peternak dan petani saja yang wajib zakat, padahal profesi-profesi yang tidak kena zakat jauh lebih menghasilkan harta.

D. Kesimpulan dari Perbandingan

Diantara faktor penting untuk mendekatkan jurang perbedaan antara kaum muslimin pada umumnya dan antar kelompok-kelompok aktivis Islam pada khususnya ialah: Membatasi beberapa pemahaman yang menjadi sebab perselisihan tersebut.

Seringkali suatu istilah atau pemahaman tertentu dipertentangkan dengan sengit. Padahal kalau istilah dan pemahaman tersebut dibatasi dan dijelaskan secara gamblang dan detail akan memungkinkan kedua belah pihak untuk bertemu pada “garis tengah”.

Oleh sebab itu para ulama kita selalu berusaha “membebaskan pangkal perselisihan” dalam setiap perselisihan dan perdebatan agar tidak terjebak dalam kesia-siaan. Seringkali terjadi perbedaan sengit antara dua kelompok kemudian ternyata pada akhirnya perbedaan itu hanyalah perbedaan terminologis dan tidak menghasilkan buah yang bersifat amaliyah.[32]

Demikian pula mengenai zakat profesi, secara tegas memang tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal itu, akan tetapi jika kita kembalikan bahwa tujuan zakat disamping untuk mensucikan jiwa juga untuk mensucikan harta. Masalah yang timbul kemudian harta yang dikeluarkan itu disebut zakat maal atau zakat profesi.

Sebenarnya perbedaan ini bisa dikonfromikan bahwa zakat profesi itu merupakan bagian dari zakat mal. Yusuf Qardhawi, adalah salah satu ulama yang sangat bijak menyikapi hal-hal seperti ini, tujuannya sederhana: agar orang tidak merasa keberatan kalau mau beribadah. Yang penting niatnya sudah benar (ikhlas lillahi ta’ala), zakat apapun yang dikeluarkan, wajib di terima dan disalurkan.

Kemudian perbedaan dari disyariatkannya haul itu karena ada yang menganalogikannya kepada harta perdagangan atau emas yang dikeluarkan setelah sampai satu tahun. Ada pula yang menganalogikannya kepada harta pertanian, yang dibayar pada waktu panen.

Zakat profesi sejalan dengan tujuan disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan atau mengembangkan harta serta menolong para mustahiq. Zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan.

Ulama-ulama yang hidup pada puluhan abad silam, yang menyusun kitab-kitab Kuno itu, memang belum mengenal mekanisme-mekanisme bisnis seperti yang banyak sekarang. Secara singkat lapangan pekerjaan waktu itu masih sebatas yang kasar-kasar, turun kelapangan langsuung, berdagang di pasar, pergi ke sawah dan ladang. Padahal kini dunia sudah berkembang pesat. Praktek bisnis sudah demikian canggihnya. Para pekerja “berkerah putih” penghasilannya bisa dipastikan lebih besar dari mereka yang hanya mengandalkan sawah-ladang. Jika demikian, apa kiranya adil jika para petani / pedagang yang harus banting tulang seharian harus tetap dikenai zakat, sementara yang cukup duduk santai-santai dikantor tidak sangat tidak logis kalau tidak mewajibkan zakat kepada kalangan profesional seperti dokter yang penghasilannya sebulan bisa melebihi penghasilan petani setahun.

Berhubung prinsip-prinsip pewajiban zakat itu juga terdapat pada pekerjaan-pekerjaan profesional, maka gaji/ upah pun dikenai wajib zakat. Mungkin yang membuat bingung adalah mengapa disebut zakat profesi.

Disebutkan demikian karena yang dizakati adalah gaji/ upah yang diperolehnya berdasarkan profesi. Baik itu sekertaris, manager, direktur, mandor, guru, karyawan, dll. Zakat profesi itu bisa dilaksanakan setahun sekali atau sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali, terserah. Yang jelas jika ditotal setahun besar zakat yang dikeluarkan akan sama. Namun ingat, ia baru wajib mengeluarkan jika penghasilannya, seandainya ditotal setahun setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhannya selama setahun melebihi nisab. Jika tidak, tidak wajib zakat.

Dari sini, sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing orang, dan sesuai pula dengan tingkat kemakmuran dan besarnya penghasilan yang diperoleh, terpulang kepada setiap individu muslim untuk bertanya kepada hati nuraninyasendiri; manakah diantara keempat presentase diatas yang layak untuk dijadikan dasar bagi besar kecilnya zakat yang dikeluarkan.

Dan pada akhirnya, mengingat negara kita ini bukan negara Agama yang berhak memungut zakat dari rakyatnya, kalau perlu dengan paksaan, maka semua itu bergantung pula pada kadar keimanan dan ketulusan kepada Allah swt, yang diharapkan makin lama makin menguat dalam diri setiap Muslim yang bertaqwa. Yaitu yang kuat keyakinannya akn janji Allah dan Rasulnya, bahwa “takkan berkurang sebuah harta disebabkan sedekah yang dikeluarkan darinya, bahkan bertambah, bertambah dan bertambah”.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Aufa homepage. Catatan Atas Zakat Profesi, Zakat Profesi Adakah? Diakses pada tanggal 12 November 2008

Dahlan, Abdul Aziz (et.al). Ensiklopedi Hukum Islam, Cet I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996

Departemen Agama RI. Alqur`an dan Terjemahannya, Arab Saudi Raja Fahd Ibn Abd al-Aziz, 1418H

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Al-Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis II, Cet.VI; Bandung: PT. Mizan, 2005.

Al-Ja`fy, Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhary, Shahih Bukhary Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah

Al-Kahlany, Imam Muhammad Ibn Ismail al-Khalany. Subulussalam-Syarh Balugul Maram, min Jami’i Adillatil Ahkam, Juz I, Bandung Dahlan

Kurnia, Hikmat & Ade Hidayat. Panduan Pintar Zakat, Cet I; Jakarta QultumMedia, 2008

An- Naisaburi, Muslim Bin al-Hajjaj Abdul Husain al- Quraisyi. Shahih Muslim, Juz II, Ilya at-Turats al-Araby

Nizami, Media Dakwah antara Bid’ah: Zakat Profesi dan Zakat Mal http://www.geocities.com/ nizaminz. Diakses pada tanggal 12 November 2008

Purnomo, Sjekhul Hadi. Sumber-Sumber Penggalian Zakat, Cet II’ Jakarta Pustaka Firdaus,1994

Qardhawi, Yusuf, Fiqhu az-Zakat, Juz I, Beirut: ar-Rizalah, 1999



[1]Zakat juga berati berkah dan berkembang (karena mngeluarkan zakat itu sesungguhnya tidak mengurangi harta, tapi akan berkembang karena keberkahan yang diberikan Allah kepada muzakky). Lihat Yusuf Qardawi, Fiqhu az-Zakāh, Juz I (Beirut: ar-Risālah, 1999), h. 37.

[2]Hikmat Kurnia & Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat (Cet.I; Jakarta: Qultum Media, 2008), h. 2.

[3]Hadi Purnomo, Sumber-sumber Penggalian Zakat (Cet.II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 30.

[4]Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 702.

[5]Abdul Aziz Dahlan (et,al), Ensiklopedi Hukum Islam (Cet.I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1986.

[6]Hadi Purnomo, Op.cit., h. 140.

[7]Yusuf Qardawi, Op.cit., h. 487.

[8]Http//: Abu Aufa Homepage.com, Catatan Atas Zakat Profesi, Zakat Profesi adakah? Diakses tanggal 24 Oktober 2009.

[9]Yusuf Qardawi, Op.cit., h. 487.

[10]Ibid., h. 490.

[11]Ibid.

[12]Haul adalah perputaran harta satu nisab dalam 12 bulan, lihat Hikmah Kurnia & Ade Hidayat, Op.ci.t, h. 16.

[13]Yusuf Qardawy, Op.cit., h. 504-505.

[14]Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis II (Cet.VI; Bandung: PT. Mizan, 2005), h. 303.

[15]Ibid., h. 302-303.

[16]Hadi Purnomo, Op.cit., h. 143.

[17]Yusuf Qardawi, Op.cit., h.

[18]Http//www.catatan-atas-zakat-profesi/aziz Mirza/blog.com, diakses tanggal 22 Oktober 2009.

[19]Muhammad Bagir al-Habsyi, Op.cit., h. 304.

[20]Ibid., h. 146.

[21]A.Nizami,MediaDakwah,AntaraBid’ah:ZakatProfesi dan Zakat Mal Http://www.geocities.com.nizaminz. Diakses tanggal 24 Oktober 2009.

[22]Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islām wa ‘adillatuhu, Juz II (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 866.

[23]Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Arab Saudi: Raja Fahd Ibn Abd al-‘Aziz, 1418 H), h. 67.

[24]Imam Muhammad ibn Ismail al-Khalany, Subulussalām Syarah Bulūgul Marām, min Jāmi’i Adillatil Ahkām, Juz I (Bandung: Dahlan.tt), H. 128.

[25]Ibid., h. 129.

[26]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhary al-Ja’fy, Sahih Bukhary (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah), h. 201.

[27]Muslim bin al-Hajjaj Abul Husain al-Quraysyi an-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II (Ihya at-Turat al-Araby.t.th), h. 917.

[28]Departemen Agama RI, Op.cit., h. 157.

[29]Ibid., h. 799.

[30]Yusuf Qardawy, Op.cit., h. 398.

[31]Ibid.,

[32]Yusuf Qardawy, Ash-Shahwa al-Islamiyyah Bainal Ikhtilafil Bainal Masyru’ wat Tafarruqil Madzmum (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2001), h. 83.

No Response to "ZAKAT PROFESI"

Posting Komentar