Jumat, 17 September 2010

MASLAHAH MURSALAH

0

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh hukum yang ditetapkan Allah swt. atas hamba-Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh sholat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan jasmani.

Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. contohnya larangan meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental) dan akal.

Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.

Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah mentepakan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena iradat dan qudrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahatan, karena kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam kemaslahatan.[1]

Terlepas dari beda pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam bentuk larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’.[2]

Dari penjelasan tersebut, tampak betapa pentingnya maslahat dalam kehidupan manusia. Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara syar’i baik dalam Alquran dan Hadis Nabi, maka dengan merujuk kepada kemaslahatan manusia, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pertimbangan akal, tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan syara’. Salah satu bentuk ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut disebut dengan maslahah mursalah, yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai konsep maslāhah mursālah dengan membatasi persoalan tentang hal tersebut pada beberapa pokok pembahasan, yaitu:

1. apa pengertian maslahah mursalah?

2. Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah, dan perbedaan ulama tentang hal tersebut?

3. Apa syarat-syarat maslahah mursalah dapat dijadikan suatu hujjah dalam berijtihad?

4. Apa obyek maslahah mursalah?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Maslāhah Mursālah

Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.[3] Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab () menjadi () atau () yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan.[4] Kata maslāhah kadang-kadang disebut juga dengan () yang artinya mencari yang baik ().[5] Sedangkan kata mursālah adalah isim maf’ul dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi, yaitu (), dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi (). Secara etimologis artinya terlepas, atau dalam arti () (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata maslāhah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak boloehnya dilakukan”.[6]

Perpaduan dua kata menjadi “maslāhah mursālah " yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.

Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslāhah mursālah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Di antara definisi tersebut:

1. Al- Ghazali dalam kitab al-Mustasyfā merumuskan maslāhah mursālah sebagai berikut:

Apa-apa (maslāhah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.[7]

2. Asy-Syaukani dalam kitab Irsyād al-Fuhūl yang memberikan defenisi:[8]

Maslāhah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.

3. Ibnu Qudaima dari ulama Hambali memberi rumusan:[9]

Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.

4. Yusuf Hamid al-alim memberikan rumusan:

sesuatu yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.

5. Jalal al-Din Abd al-Rahman memberi rumusan yang lebih luas:[10]

Maslahat yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.

6. Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:[11]

Maslāhah mursālah adalah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.

7. Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama dengan rumusan Jalal al-Din di atas yaitu:[12]

Maslahat yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pembutian atau penolakannya.

8. Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syatibi dalam kitab al-I’tishām mendefinisikan maslāhah mursālah adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dhārurīyah (primer) maupun hajjīyah (sekunder).[13]

Dari beberapa rumusan defenisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslāhah mursālah tersebut, sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia;

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.[14]

B. Kedudukan mashlahah mursalah dan kehujjahannya

Tidak dapat disangkal bahwa di kalangan mazhab ushul memang terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam baik yang menerima maupun menolak. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslāhah mursālah sebagai metode ijtihad. Imam Muhammad Abu Zahra bahkan menyebutkan bahwa Imam Malik dan pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan dan menyuarakan maslāhah mursālah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah.[15] Maslāhah mursālah lah juga digunakan dikalangan non Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka maslāhah mursālah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash rinci seperti yang berlaku dalam qiyas.[16] Bahkan Imam Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslāhah mursālah itu bersifat qat’i, sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif).[17]

Adapun pandangan ulama Hanafi terhadap maslāhah mursālah terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Hamidi banyak ulama Hanafi yang tidak mengamalkannya, namun menurut Ibnu Qudaimah, sebagian ulama Hanafi menggunakan maslāhah mursālah, tampaknya pendapat ini lebih tepat karena kedekatan metode ini dengan istihsān di kalangan ulama Hanafiah.[18] Begitu pula pada pandangan ulama Syafi’iyah ada perbedaan pendapat. Al-Amidi dan Ibnu al-Hajib dalam kitabnya al-Bidākhsyi, mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menggunakan maslahah mursalah, karena Syafi’i sendiri tidak pernah menyinggung metode ini dalam kitabnya al-Risālah. Namun ulama lain seperti al-Ghazali menukilkan bahwa imam Syafi’i pernah menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya dalam qiyas.[19]

Adapun kalangan ulama yang menolak penggunaan maslāhah mursālah adalah al-Zahiriyah, Bahkan dikabarkan bahwa mazhab Zahiriyah merupakan mazhab penentang utama atas kehujjahan maslāhah mursālah.[20] ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qādhi al-Baidhāqi juga menolak penggunaan maslāhah mursālah dalam berijtihad.

Berikut ini akan dijelaskan perbedaan pendapat antara kalangan mazhab ushul yang menerima dan yang menolak serta argumentasi mereka masing-masing.

a. Kelompok pertama mengatakan bahwa maslāhah mursālah adalah merupakan salah satu dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syariah. Adapun argumentasi kelompok ini adalah:

1. Adanya taqrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’az bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Alquran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.

2. Adanya amaliah praktek yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi tentang penggunaan maslāhah mursālah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Misalnya, para sahabat telah menghimpun Alquran dalam satu mushaf, dan ini dilakukan karena khawatir Alquran bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak pula ada larangannya. Pengumpulan Alquran dalam satu mushaf ini, semata-mata demi kemaslahatan. Dan dalam prakteknya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang melarang atau menyuruhnya.Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah sesuai dengan tujuan syara’, maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu. Jika mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan tujuan syariat dan hal itu dianggap batal dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, berpegang kepada mashlahat adalah suatu kewajiban.[21]

3. Suatu maslahat bila nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (Syari’), maka menggunakan maslahat tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus ynag mendukungnya. Sebaiknya apabila tidak digunakan untuk menetapkan suatu kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i. Karena itu dalam menggunakan maslahah mursalah itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’.[22]

4. Sesungguhnya tujuan pensyariatan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia. Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa kemaslahatan itu terus berkembang dengan perkembangan zaman dan begitu pula kemaslahatan itu akan terus berubah dengan perubahan situasi dan lingkungan. Jika kemaslahatan itu tidak dicermati dan direspon dengan ketetapan yang sesuai kecuali hanya terpaku kepada dalil, niscaya kemaslahatan itu akan hilang dari kehidupan manusia.[23]

b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maslāhah mursālah tidak dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Adapun argumentasi mereka adalah:[24]

1. Bila suatu maslahat ada petunjuk syar’i yang membenarkannya, maka ia telah termasuk bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Alquran dan sunnah Nabi.

2. Beramal dengan maslahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menurut hawa nafsu. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan maslāhah mursālah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya.

3. Menggunakan maslahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.

4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum.

Bila diperhatikan perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan argumennya masing-masing, ulama yang menerima dan menolak metode maslāhah mursālah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang menolak ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika samapai menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpanya telah ditemukan garis kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan maslāhah mursālah dalam berijtihad, sebagaimana Imam Syafi’i sendiri melakukannya.

Oleh karena itu, maslāhah mursālah merupakan bagian dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia tidak disebutkan dalam nash secara tekstual, tapi secara substansial ia dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa maslāhah mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting dan memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.[25]

C. Syarat-Syarat Menggunakan maslāhah mursālah.

Dalam menggunakan maslāhah mursālah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat hati-hati sehingga tidak mengakibatkan pembentukan syariat, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, ulama menyusun syarat-syarat maslāhah mursālah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum. Syarat-syaratnya ada yaitu:[26]

1. Maslahat yang dimaksud adalah maslahat yang sebenarnya bukan hanya dugaan semata. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan hukum tentang masalah yang dapat memberi kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika maslahat itu berdasarkan dugaan semata maka pembentukan hukum itu tidak akan mendatangkan maslahat.Contoh dalam persoalan larangan bagi suami untuk menalak istrinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini tidak mengandung maslahat, bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat. Hubungan suami isteri ditegakkan atas dasar suatu paksaan undang-undang, bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang dan cinta-mencintai.[27]

2. Maslahat itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya ialah bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan hukum atas suatu kejadian dapat melahirkan manfaat bagi kebanyakan orang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi satu orang atau beberapa orang saja. Imam al-Ghazali memberi contoh orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.[28]

3. Maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash, Alquran dan sunnah, maupun ijma’ dan qiyas.

4. Maslahat mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.[29]

Imam al-Ghazali juga memberikan beberapa syarat terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum, yaitu:[30]

1. Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.

2. Maslahat itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.

3. Maslahah itu termasuk dalam kategori maslahat yang dharuriyah, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.

D. Obyek maslāhah mursālah

Ulama yang menggunakan maslāhah mursālah menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah, seperti muamalat dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslāhah mursālah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhannya. Alasannya karena maslahat itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.

Segala bentuk perbuatan ibadah bersifat ta’abbudi dan tawqifih, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Umpanya mengenai shalat dzuhur empat rakaat dan dilakukan sesudah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.[31]

Di luar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat rasional dan oleh karenanya dapat dinilai baik atau buruknya oleh akal. Contohnya minum khamar itu adalah buruk karena merusak akal. Penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslāhah mursālah itu difokuskan terhadap lapangan masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan hukum- hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal- hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.[32]

Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan maslahat yaitu antara lain:[33]

1. Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata- mata karena maslahat, yaitu menjaga Alquran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirnya karena meninggalnya sejumlah besar penghapal Alquran dari generasi sahabat.

2. Khulafah ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya merrreka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.

3. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu tergolong dalam kategori maslahah, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.

4. Diperbolehkannya mengangkat seorang penguasa mafdhūl (bukan yang terbaik). Penolakan akan baiat dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan, kegoncangan serta kekosongan pemerintah.

5. Apabila uang kas negara mengalami defisit, dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan pembiayaan tentara, maka bagi pemerintah diperbolehkan menarik pungutan wajib kepada orang- orang kaya untuk menutupi kebutuhan mereka yang mendesak, sampai baitul mal mendapatkan masukan uang atau kebutuhan mereka tercukupi.

6. Apabila keadaan serba haram mengejala dan melanda diseluruh dunia atau pada suatu daerah tertentu yang penduduknya mengalami hambatan untuk pindah kedaerah lain, dan mereka sulit mendapat lapangan pekerjaan yang baik (halal) dan terdesak oleh kebutuhan yang melebihi dari sekedar mempertahankan hidup, maka bagi mereka diperbolehkan secara terpaksa untuk memasuki dan menerima lapangan pekerjaan yang buruk demi menolak darurat dan menutupi hajat (kebutuhan).

III. PENUTUP

Kesimpulan:

1. Maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Secara etimologi maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah adalah terlepas. Menurut terminologi dari beberapa pengertian yang dikemuukan oleh para ulama ushul dapat disimpulkan bahwa maslāhah mursālah adalah suatu maslahat yang tidak ada petunjuk dari syar’i baik itu dalam Alquran dan Hadis, apakah hal itu diperbolehkan atau dilarang. Tapi maslahat tersebut juga tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syar,i.

2. Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan kehujjahan maslāhah mursālah. Kelompok yang banyak memakai metode istinbath ini adalah Imam Malik dan para pengikutnya mazhab Maliki dan ulama Hanabilah. Mereka beralasan bahwa para sahabat juga banyak menggunakan maslāhah mursālah dalam mengambil beberapa keputusan, perkembangan zaman dengan berjalannya waktu banyak membutuhkan solusi dalam berbagai persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam nash. Sedangkan ulama yang menentang maslāhah mursālah antara lain mazhab Zahiriyah, ulama Mu’tazilah dan ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa maslāhah mursālah dapat disalah gunakan oleh orang karena mengikuti hawa nafsu mereka dalam memutuskan suatu persoalan.

3. Syarat-syarat maslahah dapat dijadikan suatu ketetapan hukum adalah Maslahatnya merupakan hal yang benar, bukan hanya dugaan semata. Maslahat itu bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan beberapa orang. Maslahat tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syari’ah. Dan maslahat hanya digunakan dalam kondisi yang memerlukan saja.

4. Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan Hadis Nabi.

DAFTAR PUSTAKA

Abū Zahrah, Muhammad. Ushūl al-Fiqh. Beirut; Dār al-Fikr, 1957.

Al-Ghazāli, Abu Hamid. Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl, Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1993.

_________ Syifā’ al-Ghalil fi Bayān al-Sya’bah wa al-Mukhil wa Masālik al-Ta’lil, tahqiq ahmad al-Kabisi, Baghdad; Mathba’ah al-Irsyād, 1971.

Asy-Syāthibi, Abu Ishak. Al-I’tisham Jilid II, Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975.

_________ Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid IV, Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975.

Asy-Syaukāni, Muhammad ibn ‘Ali. Irsyād al-Fuhūl, Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, 1994.

Burhanuddin. Fiqih Ibadah, Cet.I; Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Haq, Hamka. Falsafah Ushul Fiqih, Ujung Pandang; Yayasan al-Ahkam, 1998).

Khalāf, Abdul Wāhab. Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi Fī mā Lā Nassa Fīh, Cet.III; Kuwait: Dār al-Qalām, 1972)

_________ Ilmu Ushūl al-Fiqh, Kairo; Dār al-Fikr, 1996.

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Qudamah, Ibnu. Raudhah an-Nadzīr wa Junnah al-Munāzhir, Beirut; Mu’assasah al-Risālah, 1978.

Rahmat, Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih, Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Romli SA. Muqāranah Mazāhib fil Ushūl, Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid 2, Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Sya’ban, Zaky al-Din. Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965.

Umam, Chaerul. Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh, Cet.I; Baghdad: Dār al-‘Arabiyah Littibā’ah, 1992.

Zuhaily, Wahbah. Al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh, Beirut-Libanon; Dār al-Fikr Muasir, 1995.



[1] Adapun tokoh-tokoh muslim yang mendukung pendapat pertama, antara lain aliran asy-‘Ariyah pada umumnya, dan sebahagian ulama Maturidiyah Bukhara. Sedangkan pada pendapat selanjutnya didukung oleh Imam asy-Syatibi, ar-Razy dan Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat Hamka Haq, Falsafah Ushul Fiqih (Ujung Pandang; Yayasan al-Ahkam, 1998), h. 67.

[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 322.

[3] Sebagian ulama menyebut maslahah mursalah dengan istilah al-Munāsib al-Mursāl (dipopulerkan oleh Ibnu Hājib dan Baidhāwi), al-Istidlāl al-Mursāl (dipopulerkan oleh asy-Syātibi) dan al-Ishtislāh (dipopulerkan oleh al-Ghazāli). Lihat Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Cet.III; Bandung: Pustaka Setia, 2007),h. 118.

[4] Chaerul Umam, Ushul Fiqih I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 135.

[5] Abdul Wāhab Khalāf, Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi Fī mā Lā Nassa Fīh (Cet.III; Kuwait: Dār al-Qalām, 1972), h. 85.

[6] Amir Syarifuddin, op.cit,. h. 332.

[7] Abu Hamid al-Ghazāli, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl (Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1993), h. 311

[8] Asyyaukani, Irsyād al-Fuhūl (Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, 1994), h.

[9] Ibid., h. 333.

[10] Ibid.,

[11] Abdul Wāhab Khalāf, Ilmu Ushūl al-Fiqh (Kairo; Dār al-Fikr, 1996), h. 80.

[12] Muhammad Abū Zahrah, Ushūl al-Fiqh (Beirut; Dār al-Fikr, 1957), h. 278.

[13] Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-I’tisham Jilid II (Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 39.

[14] Amir Syarifuddin, op.cit., h. 334.

[15] Muhammad Abū Zahrah, op.cit,. h. 280. Lihat juga, Ibnu Qudāmah, Raudhah an-Nadzīr wa Junnah al-Munāzhir (Beirut; Mu’assasah al-Risālah, 1978), h. 416.

[16] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 121.

[17] Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid IV (Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 207.

[18] Ibid,.

[19] Abu Hamid al-Ghazāli, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl, loc.cit,.

[20] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh (Cet.I; Baghdad: Dār al-‘Arabiyah Littibā’ah, t.th), h. 238. Lihat juga Wahbah Zuhaily, Al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh (Beirut-Libanon; Dār al-Fikr Muasir, 1995), h. 93.

[21] Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl (Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 168.

[22] Amir Syarifuddin, op.cit., h. 339-340.

[23] Zaky al-Din Sya’ban, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi (Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965), h. 176.

[24] Amir Syarifuddin, loc.cit,.

[25] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit,. h. 179.

[26] Burhanuddin, Fiqih Ibadah (Cet.I; Bandung; Pustaka Setia, 2001), h. 162.

[27] Chaerul Umam, op.cit,. h. 137.

[28] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 145.

[29] Amir Syarifuddin, op.cit,. h. 337.

[30] Abu Hamid al-Ghazāli, Syifā’ al-Ghalil fi Bayān al-Sya’bah wa al-Mukhil wa Masālik al-Ta’lil, tahqiq ahmad al-Kabisi (Baghdad; Mathba’ah al-Irsyād, 1971), h. 182.

[31] Amir Syarifuddin, op.cit,. h. 340-341.

[32] Diantara contoh yang lain dalam wilayah ini adalah tentang ukuran had dan kifarat, ketentuan waris, ketentuan jumlah bulan dalam iddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau yang diceraikan. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan ukurannya dan disyariatkan berdasarkan kemaslahatan yang berasal dari syara’ itu sendiri. Lihat Rahmat Syafe’i, op.cit,. h. 122.

[33] Muhammad Abu Zahrah, op.cit,. h. 281-282.

No Response to "MASLAHAH MURSALAH"

Posting Komentar