Jumat, 17 September 2010

MEMAKNAI KONSEP TURUQ AL-ISTINBĀTH DAN DIFERENSIASINYA DENGAN MASĀDIR AL-AHKĀM DAN AL-ADILLAH ASY- SYARĪAH

0

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hukum dalam pengertian ulama ushul fiqhi ialah” apa yang dikehendaki oleh Syari’ (Pembuat hukum)”. Dalam hal ini, Syari’ adalah Allah. Kehendak Syari’ itu dapat ditemukan dalam Alquran dan penjelasannya di dalam Sunnah. Pemahaman akan kehendak Syari’ itu ter gantung sepenuhnya kepada pemahaman ayat-ayat hukum dalam Alquran dan Hadis-hadis hukum dalam Sunnah. Usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbāth (usaha atau cara mengeluarkan hukum dari sumbernya).[1]

Dalam upaya istinbāth, para ahli telah mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujahid itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad yang merupakan hasil rumusan para mujtahid. Di antaranya ada hasil rumusan metode yang berbeda antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya dalam menyusun metode-metode dalam upaya penggalian hukum dalam Islam. Termasuk dalam hal ini perbedaan di kalangan mazhab baik itu mazhab Maliki, Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan beberapa mazhab lainnya.[2] Metode-metode yang ada antara lain disebut dengan ijma’, qiyās, istihsān, istishlāh, istishāb, ‘urf, Syar’un man qablanā, sadd az-Zarī’ah, dan mazhab sahābi.

Seiring perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya dalam bidang hukum atau syari’at Islam, para ulama ushul juga terus mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran-pemikiran ulama ushul fiqhi sebelum mereka. Metodologi hukum Islam yang telah dibahas oleh ulama sebelumnya, dikembangkan lagi sehingga melahirkan beberapa istilah-istilah baru dalam hukum Islam, yang mempunyai hubungan dan perbedaan diantara mereka. Adapun beberapa istilah yang sering dibahas oleh para ulama ushul kontemporer antara lain: turuq al-Istinbāth, masādir al-Ahkām dan adillah asy-Syarī’ah. Beberapa istilah ini akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai konsep turuq al-Istinbāth dan diferensiasinya dengan masādir al-Ahkām dan adillah asy-Syarī’ah dengan membatasi persoalan tentang hal tersebut pada beberapa pokok pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana pengertian dari turuq al-Istinbāth, masādir al-Ahkām dan adillah asy-Syarī’ah, dan apa saja yang termasuk dalam masing-masing konsep tersebut?

2. Bagaimana memaknai konsep turuq al-Istinbāth dan diferensiasinya dengan masādir al-Ahkām dan adillah asy-Syarī’ah?

II. Pembahasan

A. Pengertian Turuq Al-Istinbāth

Kata طُرُقٌ merupakan jamak dari طَرِيْقَةٌ yang bermakna cara, jalan, metode atau sistem.[3] Sedangkan kata istinbāth dilihat dari sudut etimologi berasal dari kata نَبَطَ atau نَبُطُ dengan kata kerja نَبَطَ, يَنْبُطُ, yang berarti ‘air yang mula- mula keluar dari sumur yang digali’. Kata kerja tersebut, kemudian dijadikan bentuk transitif, sehingga menjadi اَنْبَطَ dan اِسْتِنْباَطَ, yang berarti ‘mengeluarkan air dari sumur (sumber tempat air tersembunyinya)’. Jadi, kata istinbāth pada asalnya berarti ‘usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya’. “ Kata tersebut dipakai sebagai istilah fiqih, yang berarti “ upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Istilah tersebut identik dengan istilah ijtihad dalam ushul fiqih.[4]

Istinbāth adalah upaya seseorang ahli fiqih dalam menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya. Upaya demikian tidak akan membuahkan hasil yang memadai, melainkan dengan menempuh cara- cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama menyangkut sumber hukum. ‘Ali Hasaballah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushul fiqih dalam melakukan istinbāth, yakni: (1) pendekatan melalui kaidah- kaidah kebahasaan, (2) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariat (maqāshid al- syarī`ah). Apa yang dikemukakan oleh ‘Ali Hasaballah itu, telah disinyalir pula oleh Fathi al- Darāini, dosen fiqih dan ushul fiqih Universitas Damaskus. Ia menyebutkan bahwa materi apa saja yang akan dijadikan obyek kajian, maka pendekatan keilmuan yang paling tepat, yang akan diterapkan terhadap obyek tersebut hendaklah sesuai dengan watak obyek itu sendiri.[5]

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa turuq al-Istinbāth adalah metode- metode yang dipakai dalam menetapkan sebuah hukum yang digali atau dikeluarkan dari sumber yang ada, dalam hal ini terkait dengan sumber- sumber hukum Islam. Oleh karena itu yang termasuk dalam bagian turuq al-Istinbāth adalah metode- metode yang muncul akibat dari penggalian sumber- sumber hukum yakni Alqur`an dan sunnah. Adapun bagian- bagian tersebut antara lain:

Istinbāth dengan pendekatan kajian kebahasaan:

Di antara metode yang dipergunakan oleh ulama usul dalam menggali pesan-pesan yang terkandung dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw. adalah metode istinbāth dari segi kebahasaan yaitu, usaha para mujtahid untuk mencoba memahami lafaz itu secara zahir, yaitu apa yang tampak, diucapkan, didengar dan pengertiannya telah dipahami secara umum.[6] Oleh karena Alquran dan sunah yang menjadi objek utama yang akan dibahas dalam ushul fikih yang keduanya berbahasa Arab, maka untuk memahami teks-teks dan sumber tersebut para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktek penalaran fikih.

Untuk itu, para ahli telah membuat beberapa kategori lafaz atau redaksi. Di antaranya yang sangat penting adalah: amar, nahi dan ‘am, khas baik dari segi mutlaq dan muqayyad dan seterusnya.

1. Amar (Perintah)

a. Pengertian dan bentuk-bentuk amar.

Menurut ulama ushul fiqh, amar adalah

اللفظ الدال على طلب الفعل عاى جهة الا ستعلاء

Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.

Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, disampaikan Allah SWT dalam berbagai gaya atau redaksi di antaranya.[7]

1) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر) dan yang seakar dengannya. Misalnya adalam ayat (QS. An-Nahl: 90)

اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالاْحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

2) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan kepada manusia dengan memakai kata kutiba (كتب) misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 178.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِيْ الْقَتْلَى

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.

3) Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah) namun yang dimaksudkan adalah perintah, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 228.

وَالْمُطَلَّقَاُت يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ وَلاَ يُحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.

4) Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 238.

حَا فِظُوْا عَلىَ الصَّلوَاتِ وَالصَّلاَةُ الْوُسْطَى وَقُوْمُوْا ِللهِ قَانِتِيْنَ

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.

5) Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhāri, yang disertai dengan lam al-amr misalnya surah al-Hajj ayat 29.

ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang da pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)

6) Perintah yang menggunkan kata faradha (فرض) misalnya surah al-Ahzab ayat 50.

...قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْ اَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلاَ يَكُوْنَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكاَنَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

7) Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya misalnya surah al-Baqarah ayat 245.

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لِهُ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهُ يُقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembeyaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepanya-Nya-lah kamu dikembalikan.

b. Hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk amar.

Suatu bentuk perintah, bisa digunakan untuk berbagai pengertian antara lain:[8]

1) Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk shalat.

2) Sebagai anjuran.

3) Untuk melemahkan.

4) Sebagai ejekan dan hinaa, seperti dalam firman Allah yang berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka.

2. Nahi (larangan)

a. Pengertian dan bentuk-bentuk nahi.

Mayoritas ulama ushul fikih mendefinisikan nahi sebagai berikut:

طلب الكف عن الفعل على جهة الاستعلاء بالصيغة الدال عليه

Larangan melakukan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan hal itu.[9]

Dalam melarang suatu perbuatan Allah juga memakai ragam bahasa, di antaranya adalah:

1) Larangan secara tegas dengan memakai kata (نهي) seoperti firman Allah dalam surah an- Nahl ayat 90.

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Di memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

2) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan, misalnya firman Allah surah al-‘Arāf: 33

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِْثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersebunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.

3) Larangan yang menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surah an-Nisa: 19

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا لاَيُحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِسَاءَ كَرْهًا

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.

4) Larangan yang menggunakan kata kerja mudhari yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan (لا الناهية) seperti dalam surah al-An’am: 152

وَلاَ تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga samapi ia dewasa.

5) Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkannya. Surah al-An’am: 120

وَذَرُوْا ظَاهِرَ الإِْثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْسِبُوْنَ الإِْثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كاَنُوْا يَفْتَرِفُوْنَ

Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.

6) Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan yang pedih. Surah at-Taubah:34

...وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمِ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

7) Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Surah Ali Imran : 180

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ الِْقيَامَةِ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat.

b. Beberapa kemungkinan hukum yang ditimbulkan oleh Nahi

1) Untuk menunjukkan hukum haram.

2) Sebagai anjuran untuk meninggalkan.

3) Penghinaan.

4) Untuk menyatakan permohonan.

3. Takhyir (memberi pilihan)

Menurut Abil al Karim Zaidan, bahwa yang dimaksudkan dengan takhyir adalah

ما خير الشارع المكلف بين فعلع وتركه

Bahwa syari (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.[10]

Untuk memberi hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam Al-Qur’an, terdapat berbagai cara:

a) Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan misalnya surah al-Baqarah: 173

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثَ إِلىَ نِسَاءِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.

b) Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, contohnya surah al-Baqarah: 235

إِنَّمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنْ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ اِنَّ اللهَ

غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka dengan cara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf.

Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi sindiran bukan terus terang.

4. Lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)

Menurut para ulama ushul fikih, ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)

a. Lafal Umum (am)

1) Pengertian dan bentuk-bentuk lafal umum (‘am)

Lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri.[11] Banyak kata yang menunjukkan makna umum seperti

a) Kata (كل) setiap (جميع)

b) Kata jama yang disertai alif dan lam di awalnya seperti firman Allah swt surat al-Baqarah 233:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كاَمِلَيْنِ

Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

c) Kata benda tunggal yang mema’rifatkan dengan alif dan lam surta al-Ashar ayat 2

إِنَّ الإِْنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian

d) Isim isyarat seperti kata (من) dalam surat an-Nisa ayat 92:

...وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…

b. Lafal khusus (khas)

Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.[12] Para ulama usul fiqh sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qat’i (nashi) dan hukum yang dikandungnya juga bersifat pasti selama tidak ada indikasi yang menunjukkan kepada pengertian lain.

Contoh lafal khas adalah surat al-Maidah ayat 89

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةٍ

Maka dendanya adalah memberi sepuluh anak yatim

Kata asyārah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh tidak lebih dan tidak kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam Alquran, selama tidak ada dalil yang memalingkan kepada pengetian lain seperti makna majazi jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan makna hakikatnya, tetapi makna majazinya, maka terjadilah apa yang disebut takwil yaitu pemalingan arti lafal dari makna hakikinya kepada makna majazi. Lafal khas ada yang mutlaq ada yang muqayyad.[13]

4. Mutlaq dan muqayyad

Mutlaq secara bahasa adalah bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Kata mutlak menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh ahli usul adalah

مادل على فرد غير مقبد لفظا بأي قيد

Lafal yang menunjukkan suatu alasan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.[14]

Seperti misriy (مصري seorang mesir) dan rajulin (رجل, seorang laki-laki) dan sebaliknya lafal muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan sesuatu ketentuan misalnya misriyun muslimin (orang yang berkebangsaan Mesir yang muslim).

Ayat-ayat hukum dalam Alquran ada yang bersifat mutlaq dan adapula yang bersifat muqayyad, maka kaidah usul fiqh yang berlaku adalah bahwa ayat-ayat yang bersifat mutlak harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaiknya ayat-ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasannya misalnya, lafal mutlaq yang terdapat pada surat al-Baqarah 234.

وَالَّذِيْنَ يُتَوَّفَوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أََزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْ أَنْفُسِهٍنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dalam ayat tersebut ditugaskan bahwa isteri-isteri yang ditinggal mati suami, masa tunggu mereka (iddah) empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan (istri-istri) tersebut adalah mutlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu pernah digauli atau belum.

Sedangkan contoh lafal muqayyad pada surat al-Mujadalah ayat 4:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ

Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menjadi kifarat zihar adalah memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mampu wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Kata syahrain (dua bulan), dalam ayat tersebut badalah lafal muqayyad (dibatasi) dengan mutatābiain (berturut-turut). Dengan demikian puasa dua bulan yang menjadi kaffarat zihar wajib berturut-turut tanpa terputus.

Pembagian istinbāth dengan pendekatan makna atau maqāsid syarī’ah:

1. Ijma`

Ijma` secara etimologi berarti kesepakatan atau konsensus, pengertian ini terdapat dalam surat Yusuf ayat 15. Ijma` juga berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu, pengertian ini terdapat dalam surah Yunus ayat 71.[15] Ijma` menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ ialah konsensus para mujtahid dari kalangan ummat Muhammad setelah beliau wafat, pada suatu masa, atau suatu hukum syara’.[16]

Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat apabila rukun- rukun ijma` telah terpenuhi, maka ijma` tersebut menjadi hujjah yang qat`i (pasti). Oleh sebab itu, tidak boleh mengingkarinya. Bahkan orang yang mengingkarinya dihukum kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma`, menurut para ahli ushul fiqih, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya.[17]

Para ulama ushul fiqhi kontemporer, melihat bahwa ijma` yang mungkin terjadi adalah ijma` pada masa sahabat. Ketidakmungkinan ini mengingat luasnya wilayah dunia Islam, sehingga sulit mengumpulkan segenap mujtahid. Disamping juga sulit untuk mengetahui siapa yang mujtahid dan bukan mujtahid.

Dilihat dari segi terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama ushul fiqh membagi ijma` kepada dua bentuk, yaitu ijma` shārih atau lafzi dan ijma` sukūti. Ijma` shārih atau lafzi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Sedangkan Ijma` sukūti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan diatas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.[18]

2. Qiyas

Qiyas secara bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,[19] membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya (قِسْتُ الثَّوْبَ بِالذِّرَاعِ) yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta”.[20] Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh antara lain yang didefinisikan oleh Wahbah Al- Zuhaili yaitu:[21]

اِلْحَاقُ اَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَّرْعِيِّ بِأَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ لاِشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةِ الْحُكْمِ

“menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesatuan illat hukum antar keduanya”

Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas ada empat, yaitu: Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma`), far`u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl), dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma`).[22]

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memandang qiyas sebagai dalil hukum. Keempat mazhab Sunni dan mazhab Zaidi menerima qiyas sebagai dalil hukum. Hanya mereka memakai qiyas dalam volume yang berbeda. Abu Hanifah dan Mazhab Zaidi adalah orang yang paling banyak memakai qiyas, dibawahnya Syafi’i, setelah itu Malik dan Ahmad Ibn Hanbal. Jumhur ulama ushul fiqhi berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau saran untuk mengistinbathkan hukum syara’. Bahkan lebih dari itu syari` menuntut pengamalan qiyas. Sedangkan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama- ulama Syi’ah al-Nasam, Zahiriyah dan ulama Mu`tazilah Irak.[23]

3. Istihsān

Istihsān secara etimologi berarti “menganggap atau memandang sesuatu baik.[24] Adapun istihsān secara terminologi menurut ulama ushul ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jalī (nyata) kepada qiyas khāfi (sama) atau dari dalil kulli kepada hukum tahksīs lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum. Dalam pengertian lain, istihsān ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena terdapat dalil yang menghendakinya, serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[25]

Ulama Hanafiyyah membagi istihsān kepada enam macam:[26]

1. Istihsān bil al-Nash, yaitu istihsān berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.

2. Istihsān bil al-Ijma`, yaitu istihsān yang didasarkan pada ijma`.

3. Istihsān bil al-Qiyās al-Khafi, yaitu istihsān berdasarkan qiyas yang tersembunyi.

4. Istihsān bil al-Maslahah, yaitu istihsān berdasarkan kemaslahatan.

5. Istihsān bil al-‘Urf, yaitu istihsān berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.

6. Istihsān bil al-Darūrah, yaitu istihsān berdasarkan keadaan darurat.

Ulama ushul fiqhi berbeda pendapat dalam menetapkan istihsān sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsān merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan ulama Syafi`iyah, Zahiriyah, Syi’ah, dan Mu`tazilah tidak menerima istihsān sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Syafi’iyah pernah mengatakan, “barang siapa menggunakan istihsān maka ia telah membuat syari’at. Sedangkan Ibnu Hazm memandang bahwa berhujjah dengan istihsān adalah mengikuti hawa nafsu, yang membawa kesesatan.[27]

4. Istislah

Istislāh atau mushlahah mursalah ialah suatu upaya penetapan hukum didasarkan atas kemaslahatan (mashlahah), yang kendati tidak terdapat di dalam nas maupun ijma`, tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh dasar syari`at yang bersifat umum dan pasti, sesuai dengan maksud syara’.

Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursālah sebagai metode ijtihad. Adapun kalangan ulama yang menolak penggunaan maslahah mursalah adalah al-Zahiriyah, Bahkan dikabarkan bahwa mazhab Zahiriyah merupakan mazhab penentang utama atas kehujjahan maslāhah mursālah. ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qādhi al-Baidhāqi juga menolak penggunaan maslāhah mursālah dalam berijtihad.[28]

Ulama menetapkan beberapa syarat dalam menggunakan maslahah mursalah antara lain: Maslahat yang dimaksud adalah maslahat yang sebenarnya bukan hanya dugaan semata, maslahat itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan, maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash, Alquran dan sunnah, maupun ijma’ dan qiyas. Dan maslahat mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan.[29]

5. Istishāb

Istishāb secara etimologi berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi, ada beberapa definisi istishāb yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Imam Al-Gazali memberikan definisi istishāb dengan “berpegang pada dalil akar atau syara`, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian dengan cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada”.[30] Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Istishāb ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya.[31]

Mayoritas ulama kalam menolak istishāb sebagai hujjah syariat, karena sesuatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagaimana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama Muta`akhirin Hanafiyah berpendapat, istishāb hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada pada masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya. Berbeda dengan itu, jumhur ulama Malikiyah, Syafi`iyah, Hanabilah, Zahiriyah, dan Syi’ah memandang istishāb dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak. Maka bagi jumhur, orang hilang dapat menerima haknya yang telah ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya.[32]

6. ‘Urf

‘Urf secara etimologi mempunyai arti “yang baik”. Para ulama ushul fiqhi membedakan antara adat dan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. ‘Urf didefinisikan dengan:[33]

الأَمْرُ الْمُتَكّرِّرُ مِنْ غَيْرِ عَلاَ قَةٍ عَقْلِيَةٍ

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.

Secara terminologi, ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat.[34]

‘Urf dibagi menjadi dua macam yakni ‘urf sāhih dan ‘urf fāsid. ‘Urf sāhih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan dalil syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Sedangkan ‘urf fāsid adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.[35]

Mayoritas ulama menerima ‘urf sebagai dalil hukum, tetapi berbeda pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang mustaqīl (mandiri). Para ulama Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah denga ‘urf apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan nash atau tidak ditunjuki oleh nash syar’i. sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang mustaqīl dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qat’i dan tidak ada larangan syara’ terhadapnya. Sedangkan ulama Syi’ah menerima ‘urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri, tetapi harus terkait dengan dalil lain, yakni sunnah.[36]

7. Sadd Al- Dzarī`ah

Secara etimologi, sadd berarti “penutup” dan dzarī’ah berarti wasilah (perantaraan) juga bisa berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu”. Ada juga yang mengkhususkan dzarī’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”.[37] Menurut istilah ahli hukum Islam, dzarī’ah berarti sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Sadd adz-Zarī`ah (menutup sarana). Yang dimaksud dengan dzarī’ah dalam ushul fiqih ialah “ sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan”.[38]

Imam asy-Syatibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:[39]

1. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kerusakan.

2. Kerusakan itu lebih kuat dari kemaslahatan pekerjakan.

3. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kekerusakannya lebih banyak.

Malik dan Ahmad Ibn Hanbal, menempatkan sadd adz-Zarī`ah sebagai salah satu dari hukum. Sedangkan Syafi’i (menurut satu interpretasi), Abu Hanifah dan mazhab Syi’ah menerapkan sadd adz-Zarī’ah pada kondisi tertentu. Mazhab Zahiriyah menolak secara total sadd adz-Zarī’ah.[40]

8. Syar’un Man Qablanā

Syar`un man qablanā ialah syariat umat sebelum Islam. Para ulama ushul fiqh membahas persoalan syariat sebelum Islam dalam kaitannya dengan syariat Islam. Dalam hal ini, didapati bagian-bagian dari syariat sebelum Islam yang telah dibatalkan oleh syariat Islam yang disertai oleh dalil. Sementara ada pula yang masih tetap diberlakukan dan disertai pula dalil, seperti syariat puasa masih tetap diberlakukan dalam Islam. Yang menjadi persoalan apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam.

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syariat Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syariat-syariat sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syariat sebelum Islam yang masih berlaku dalam syariat Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina dan lain-lainnya. Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah mengatakan bahwa syariat umat sebelum Islam masih berlaku bagi umat Islam. Akan tetapi aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah tidak sepakat dengan hal itu.[41]

9. Mazhab Sahābi

Mazhab Sahābi adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Di samping belum adanya ijma’ para sahabat yang ,menetapkan hukum tersebut.[42] Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqh adalah apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang sahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil.

Dalam hal ini, terdapat empat pendapat ulama. Pertama, mazhab sahābi tidak dapat dijadikan dalil hukum (pendapat jumhur ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah Syafi’iyah). Kedua, mazhab sahābi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari qiyas (Hanafiyah, Malik, qaul kadīm Syafi’i dan Ahmad). Ketiga, mazhab sahabat dapat dijadikan alasan hukum bila dikuatkan oleh qiyas (qaul jadīd Syafi’i). dan keempat mazhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila kontroversi dengan qiyas, karena dengan kontroversi demikian berarti ia bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari Sunnah (Hanafiyah).[43]

B. Pengertian Masādir Al-Ahkām

Istilah sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian ‘segala yang menimbulkan aturan- aturan, yang apabila dilanggar mengkibatkan sanksi yang tegas. Sumber, dalam bahasa arab disebut Masdar kata jamaknya ialah Masādir. Kata masdar sendiri, menurut pengertian kebahasaan mengandung pengertian antara lain: Asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya sesuatu.[44] Al Raghib, pakar leksikografi Alqur`an mengatakan bahwa kata masdar dapat bermakna ‘tempat dimana air muncul, atau sumber air yang biasa disebut mata air. Mata air disebut sebagai masdar, karena sebagai sumber tempat munculnya air.[45] Wacana tersebut kemudian dipakai sebagai istilah ushul fiqih, sehingga menjadi Masdar Al-hukm (sumber hukum) atau dalam bentuk jamak masādir al-Ahkām (sumber- sumber hukum).

Jika kata masdar (sumber) ditempatkan dalam lapangan hukum, maka dalam pengertian ini, hanya Alqur`an dan Sunnah yang menjadi masādir al-Ahkām. Pengertian demikian didukung oleh adanya kesepakatan pendapat dikalangan para ulama bahwa Allah adalah sebagai Syari’ (pencipta atau penentu syariat) atau Hakim (pencipta atau penentu hukum) satu- satunya. Untuk itu, mereka membuat suatu rumusan (kaidah): إِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ الله

“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (Al an`am :57)”[46]

Jadi, sebenarnya segenap hukum itu berasal dari Allah. Dengan demikian, yang menjadi rujukan segenap dalil hukum adalah Alqur`an. Sunnah Rasulullah hanya berfungsi sebagai penjelas dan pemberi keterangan atas Alqur`an. Dengan demikian, yang menjadi sumber hukum dalam Islam ialah :

1. Alquran

Secara etimologis, Alquran adalah masdar dari kata (قرا). Ada dua pengertian Alquran dalam bahasa Arab yaitu Qur’an berarti “bacaan” dan “apa yang tertulis padanya”.[47] Dari segi terminologis, ulama ushul fiqh memberikan defenisi sebagai berikut:

كَلاَمُ اللهِ تَعَلى الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَفْظِ الْعَرَبِيِّ الْمَنْقُوْلِ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُوْرِ, الْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَاحِفِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ , الْمَبْدُوْءِ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.

Kalam allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas”.[48]

Kaum muslim telah sepakat menerima keautentikan Alquran, karena Alquran diriwayatkan secara mutawatir. Oleh sebab itu, Alquran dipandang sebagai qat’i al-Subūt (riwayatnya diterima secara pasti). Bertolak dari prinsip demikian, segenap kaum muslim sepakat menerima Alquran sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi. Alquran sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas dasar hukum Allah yang termaktub di dalamnya.

2. Sunnah

Secara etimologis, (سنة) berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” apakah cara itu sesuatu yang baik atau yang buruk. Pengertian sunnah secara etimologis ditemukan dalam sabda Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ سَنََّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِ

Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerimapahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”.[49]

Secara terminologi, ulama ushul fiqhi memberikan definisi sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan maupun ketetapan atau sifatnya yang berkaitan dengan hukum.

Kaum muslim juga sepakat terhadap Sunnah Nabi SAW. Hanya ada segelintir kaum Khawarij yang tidak memandang sunnah sebagai dalil/ sumber hukum. Pandangan mereka, kemudian memunculkan kaum Inkar Sunnah. Selain itu, terdapat pula perbedaan dalam melihat pengertian sunnah. Para ulama ushul fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah mengartikan sunnah dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Rasul saw. Baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi saw. terhadap suatu ucapan atau tindakan) yang berkaitan dengan tasyrī’ al-ahkām al-‘amalīyyah. Berbeda dengan pandangan tersebut, menurut ulama para Syi’ah Imamiyah, yang dikatakan sunnah bukan hanya ucapan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah saw. saja, tetapi termasuk pula ucapan, perbuatan, dan taqrir para imam Syi’ah.[50]

C. Pengertian Al-‘Adillah Asy-Syarī’ah

Istilah dalil berasal dari kata dasar dalil, dan jamaknya adillah. Menurut pengertian kebahasaan mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi.[51] Ringkasnya ialah dalil merupakan petunjuk kepada sesuatu, baik yang material maupun yang non material.[52]

Menurut kebiasaan para fukahah istilah dalil diartikan dengan ‘sesuatu yang mengandung petunjuk (dalālah) atau bimbingan (Irsyād).[53] Pengertian demikian secara lebih jelas terlihat pada kandungan kitab- kitab fiqih dimana dalam membicarakan sesuatu, para penulis kitab- kitab itu merujuk kepada ayat- ayat ataupun hadis- hadis, karena didalam ayat ataupun hadis itu terkandung suatu petunjuk atau bimbingan, yang akan dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Akan tetapi, menurut al- Amidi, para ushul fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan seseorang kepada pengetahuan yang pasti menyangkut obyek informatif “[54]

Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum ialah yang dikemukakan oleh Abd al- Wahhab Khallaf, ulama ini menulis bahwa yang dikatakan dalil adalah “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. “ Jadi, dalil merupakan landasan bagi para pakar hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat qat’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).[55]

Berdasarkan pengertian seperti diatas, ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ketika membicarakan maslahah menurut pandangan al- Thufi, menghitung adanya sembilan belas dalil syara’, yaitu: Alqur`an, sunnah, ijma` ummat, ijma’ penduduk Madinah, qiyas, qaul sahābi, maslahah mursalah, istishāb, bara`ah ashliyyah, ‘awā`id, istiqra`, sadd al- dzara`i`, istidlāl, istihsān, mengambil yang paling ringan, `ishmah, ijma` penduduk Kufah, ijma` ahl al-bait, dan ijma` khalifah yang keempat.[56] Akan tetapi, umumnya para ulama bisa menempatkan sebelas dalil, yang menjadi landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Alqur`an, sunnah, ijma`, qiyās, istihsān, istislāh, istishāb, sadd al- dzarī`ah, ‘urf, syar`un man qablanā, dan madzhab al-sahābi.[57] Dalam hal ini seperti akan dilihat para ulama sepakat menempatkan Alqur`an dan sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil- dalil selebihnya ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya atau ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.

Pada kalangan mazhab ushul, dalam melakukan instinbāth hukum telah menyusun macam-macam dalil secara sistematik. Dan dalam kenyatannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain terdapat perbedaan-perbedaan di kalangan mazhab dalam menyusun al-Adillah asy-Syarī’ah. Perbedaannya tidak hanya menyangkut pada segi intensitas dan otoritas penggunaan suatu dalil, bahkan juga keberadaan suatu dalil.[58]

D. Konsep turuq al-Istinbāth dan diferensiasinya dengan masādir al-Ahkām dan adillah asy- Syarī’ah.

Dalam istinbāth hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syari’ dan sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara’ harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil dan pijakan (sumber) yang jelas.

Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul terdapat beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya.‘Abdul Wahab Khalaf misalnya, mengatakan bahwa pengertian dalil al-hukm atau adillah al-ahkām ini identik dengan ushūl al-ahkām (dasar-dasar hukum) dan masādir al-ahkām (sumber-sumber hukum).[59] Karenanya, para ulama ushul fiqh adakalanya menggunakan adillah al-ahkām untuk menunjukkan masādir al-ahkām dan sebaliknya. Sementara Asy-Syatibi menyebutnya dengan adillah asy-Syarī’ah (dalil-dalil syari’at), asās al-Tasyrī’ (Dasar-dasar penetapan hukum syara’) dan ushūl asy-Syarī’ah (Pokok-pokok hukum syara’).[60]

Akan tetapi, dari segi pengertian bahasa, kedua pengertian itu sebenarnya terdapat perbedaan. Masdar dalam pengertian bahasa adalah rujukan utama, tempat dikembalikannya segala sesuatu. Dalam pengertian bahasa Indonesia, sumber biasa diartikan sebagai “asal sesuatu”, seperti sumber air adalah tempat memancarnya air yang sering disebut dengan mata air. Dalam pengertian ini, maka masādir al-ahkām dalam Islam itu hanya Alquran dan Sunnah. Pengertian ini didukung oleh pengertian Allah sebagai al-Syari’ (Penentu atau Pencipta hukum Islam). Para ulama ushul fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum Islam itu seluruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-mu’akkid wa al mubayyīn) hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-Nya, sekalipun terkadang Rasulullah saw. menetapkan hukum tertentu melalui Sunnahnya, ketika wahyu turun dari Allah. Akan tetapi, ketetapan Rasulullah saw. ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.[61]

Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam (masādir al-Ahkām al-Syar’iyyah) tersebut adalah Alquran dan Sunnah. Karena Alquran dan Sunnah disepakati seluruh ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer sebagai sumber primer hukum Islam. Dalam kaitannya dengan pengertian dalil yang dikemukakan di atas, Alquran dan Sunnah juga disebut sebagai “dalil hukum”. Artinya, ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi saw. di samping sebagai sumber hukum Islam, sekaligus sebagai dalil (alasan dalam penetapan hukum Islam).

Karena itu, dari sisi ini, apa yang dikemukakan ‘Abdul Wahhab Khalaf di atas, bahwa adillah al-ahkām identik dengan masādir al-ahkām adalah benar. Tetapi, dalil lain, seperti ijma’, qiyās, istihsān, mashlahah al-mursalah, dan sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-dalil ini hanya bersifat al-kasyf wa al-izhār li al-hukm (menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam Alquran dan Sunnah.[62]

Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah dapat dikatakan sumber, karena yang dinamakan sumber adalah bersifat berdiri sendiri. Di samping itu, keberadaan suatu dalil, seperti ijma’, qiyās, istihsān dan lain sebagainya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh juga sering menyebut adillah al-ahkām, seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan lain sebagainya sebagai turuq al-Istinbāth al-Ahkām (metode dalam menetapkan hukum).

Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum dalam kegiatan istinbāth hukum keduanya tidak dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum maupun dalil hukum merupakan istilah-istilah teknis yang diapakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbāth hukum dan dalam prakteknya mencakup Alquran, Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber selain keduanya.[63]

III. Penutup

Kesimpulan:

1. Pengertian Turuq al-Istinbāth, Masādir al-Ahkām dan Adillah asy-Syarī’ah:

a. Istinbāth adalah upaya seseorang ahli fiqih dalam menggali hukum Islam dari sumber- sumbernya. Upaya demikian tidak akan membuahkan hasil yang memadai, melainkan dengan menempuh cara- cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama menyangkut sumber hukum. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: Ijma’, qiyās, istihsān, istislāh, istishāb, ‘urf, sadd az-Zarī’ah, syar’un man qablanā dan mazhab sahābi.

b. Istilah sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian ‘segala yang menimbulkan aturan- aturan, yang apabila dilanggar mengkibatkan sanksi yang tegas. Sumber, dalam bahasa arab disebut masdar kata jamaknya ialah Masādir. Kata masdar sendiri, menurut pengertian kebahasaan mengandung pengertian antara lain: Asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya sesuatu. Alquran dan Sunnah merupakan sumber Alquran.

c. Adillah asy-Syarī’ah merupakan landasan bagi para pakar hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat qat’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).Seluruh dalil hukum yang sebelas termasuk dalam pengertian ini.

2. Dalam istinbāth hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syari’ dan sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara’ harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil dan pijakan (sumber) yang jelas. Turuq al-Istinbāth merupakan metode dalam penggalian sebuah hukum dari masādir al-Ahkām yakni sumber hukum yang selanjutnya menjadi adillah asy-Syarī’ah yakni dalil-dalil hukum dalam berhujjah.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Muhammad. Ushūl al-Fiqh, Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

Al-Amidi, Saif al-Din. Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.

Al-Fairuzabadi, Muhammad ibn Ya’qub. Al-Qāmus al-Muhīth Jilid III,Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfā fī ‘Ilm al-Ushūl Jilid I, Beirut: Dār al-Kutūb al-‘ilmiyyah.

Al-Ifriqi, Ibn Manzur. Lisān al-‘Arāb Jilid III, Beirut: Dār Sadir, t.th.

Al-Ishfahani, Al-Raghib. Mu’jām Mufradāt Alfāzh Al-Qur’ān, Beirut; Dār al-Fikr,1992 M.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. A’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rab al-‘Ālamin Jilid III, Beirut: Dār al-Kutūb al-‘Ilmīyyah, 1975.

Al-Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1983.

______________ Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi fī mā lā Nash fīh, Kuwait: Dār al-Qalām, 1982

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushūl al-Hadīs, ‘Ulūmuhū wa Mustalāhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1981

Asy-Syatibi, Abu Ishak. Al-Muwāfaqāt fī Ushūl Asy-Syarī’ah, Beirut: Dār al-Ma’rīfah, 1973.

Al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqmīn ‘Ilm al-Ushūl, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Zuhaili, Wahbah. Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

Bik, Al-Khudairi. Tarīkh al-Taysrī’ al-Islāmi, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Cet.I; Bandung; Pustaka Setia, 2001.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.

Haq, Hamka. Falsafah Ushul Fikih, Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998.

Husein, Ibrahim. Memecahkan Permasalahan Hukum Baru, dalam Ijtihad dan Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

Hasaballah, Ali. Ushūl al-Tasyrī’ al-Islāmi, Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1971.

Haroen, Nasrun, Ushūl Fiqh, Cet.II; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996.

Muhammad bin Makram, Abi Fadil Jamaluddin. Lisān al-‘Arāb Juz.VII, Beirut: Dar Sadir: t.th

Munawir, A.W. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1967.

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Cet.I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl, Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Zakiyuddin Sya’ban, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965.

Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam, Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.Zaidan, Zaidan Abdul Karim. Al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh, Cet.I; Baghdad: Dār al-‘Arabiyah Littibā’ah, t.th.



[1]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid.II (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 1.

[2]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 110-118.

[3] A.W.Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1967), h. 49.

[4]Al-Raghib al-Ishfahani, Mu’jam Mufradāt Alfāzh Alqur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1329 H/1992 M), h. 502. Lihat juga Ibrahim Husein, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru, dalam Ijtihad dan Sorotan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h.25.

[5]Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Cet.I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 37, dikutip dari Ali Hasaballah, Ushūl al-Tasyrī’ al-Islāmi (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1971), h. 3.

[6]Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998), h. 203.

[7]Al-Khudari Bik, Tarīkh al-Taysrī’ al-Islāmi (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), h. 130.

[8]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 182.

[9]Ibid., h. 187.

[10]Abd Karim Zaidan, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Beirut: Muassasāt al-Risālah, 1958), h. 160.

[11]Ibid., h. 163.

[12]Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh (Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arābi, 1958), h. 120.

[13]Satria Effendi, op.cit., h. 205.

[14]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh (Kuwait: Dār al-Kalām, 1983), h. 45.

[15]Surat Yusuf berbunyi ayat 15;فَلَمَّا ذَهَبُوْا بِهِ اَجْمَعُوْا اَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيْبَتِ اْلحُبِّ . Artinya: “Maka takkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur”. Sedangkan surat Yunus ayat 71 berbunyi: فَااَجْمَعُوْا اَمْرَكُمْ وَشُرَاكَاءَكُمْ. Artinya: “Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”. Lihat, Saif al-Din al-Amidi, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), h. 101.

[16]Abdul Wahab Khalaf, loc.cit,.

[17]Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 198.

[18]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet.II; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996), h. 56-57.

[19]Abi Fadil Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisān al-‘Arāb Juz.VII (Beirut: Dār Sadīr: t.th), h. 187.

[20]Saifuddin al-Amidi, op.cit., Jilid III, h. 1.

[21] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 601

[22]Contoh yang termasuk dalam qiyas adalah tentang masalah khamar. Khamar merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan ayat surat ayat 90. Dalam ayat tersebut ada illat memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang terdapat illat memabukkan, hukumnya sama dengan khamar, dan haram meminumnya.

[23]Nasrun Rusli, op.cit., h. 31.

[24]Abi Fadil Jamaluddin Muhammad bin Makram, op.cit., Juz.II, h. 86.

[25]Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 739; Abdul Wahab al-Khallaf, op.cit., h. 76.

[26]Abu Ishak asy-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fi Ushūl Asy-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Ma’rīfah, 1973), h. 207.

[27]Nasrun Rusli, op.cit., h. 32.

[28] Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 238.

[29]Burhanuddin, Fiqih Ibadah (Cet.I; Bandung; Pustaka Setia, 2001), h. 162.

[30]Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfā fī ‘Ilm al-Ushūl Jilid I (Beirut: al-Muassah al-Risālah, 1997),h.128.

[31]Contoh seorang membeli seekor kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu dan telah sering ikut pacuan. Akan tetapi setelah dibeli, ternyata kuda tersebut belum terlatih untuk berpacu dan tidak pernah ikut pacuan. Dalam kasus seperti ini, hukum yang ditetapkan hakim adalah bahwa kuda tersebut memang belum terlatih untuk berpacu, karena pada dasarnya seekor kuda belum terlatih berpacu, karena pada dasarnya seekor kuda belum terlatih berpacu, kecuali ada bukti- bukti yang menunjukkan bahwa kuda itu telah sering ikut pacuan.

[32]Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 236-237.

[33]Nasrun Haroen, op.cit., h. 138.

[34]Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h.85.

[35]Ibid.

[36]Nasrun Rusli, op.cit., h. 34.

[37]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, A’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rab al-‘Alāmin Jilid III (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmīyyah, 1993), h. 108-109.

[38]Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 888-889.

[39]Nasrun Rusli, op.cit., h. 162.

[40]Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.

[41]Al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqmīn ‘Ilm al-Ushūl (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 240.

[42]Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 851-852.

[43]Ibid.

[44]Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisān al-Arāb Jilid III (Beirut: Dār Sadir, t.th.), h. 448-449.

[45]Al-Raghib al-Ishfahani, op.cit., h. 283.

[46]Nasrun Rusli, op.cit., h. 25.

[47]Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl (Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 55.

[48]Saif al-Din al-Amidi, op.cit., h. 82.

[49]Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushūl al-Hadīs, ‘Ulūmuhū wa Mustalāhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), h. 17.

[50]Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., h. 96-97. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 450.

[51]Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzabadi, Al-Qāmus al-Muhīth Jilid III (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), h. 377.

[52]Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 417.

[53]Saif al-Din al-Amidi, op.cit., h. 13.

[54] Ibid.

[55]Abdul Wahab al-Khalaf, Ushūl Fiqh, op.cit., h. 20.

[56]Abd al-Wahab Khallaf, Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi fī mā lā Nassa fīh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1982), h. 109.

[57]Dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu: Pertama, disebut dengan الأدلة الأحكام المنصوصة: (dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang masuk kategori ini adalah Alquran dan Sunnah. Dalil ini juga disebut dalil naqli. Dan yang kedua Disebut dengan : الأدلة الأحكام غير المنصوصة atau الأدلة الأحكام فيما لا نص فيها (dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan dalam nash Alquran dan Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu. Dalil ini disebut juga dalil aqli. Lihat, Romli SA, op.cit., h. 11-12. Lihat juga Zakiyuddin Sya’ban, op.cit., 27.

[58]Adapun perbedaan tersebut adalah, Mazhab Hanafi: Alquran, Sunnah, asar, ijma’, qiyas, istihsan dan ‘urf. Mazhab Maliki: Alquran, Sunnah, ijma’, qiyas, amal ahli Madinah, istislah, istihsan, az-Zari’ah, ‘urf dan istishab. Mazhab Syafi’i: Alquran, Sunnah, ijma’, qiyas, istishab dan istislah. Mazhab Hanbali: Alquran, Sunnah, ijma’, qiyas, istishab, istislah, sad az-Zari’ah dan pendapat sahabat. Lihat, Romli SA, op.cit., h. 47-51, lihat juga Fathurrahman Djamil, loc.cit.

[59]Abd al-Wahab al-Khallaf, Ushul Fiqh, op.cit., h. 20.

[60]Abu Ishak asy-Syatibi, op.cit., h. 8-10.

[61]Harun Nasroen, op.cit., h. 16. Lihat juga Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 47.

[62]Zakiyuddin Sya’ban, Ushūl al-Fiqh al-Islami (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965), h. 30.

[63]Romli SA, op.cit., 43.

No Response to "MEMAKNAI KONSEP TURUQ AL-ISTINBĀTH DAN DIFERENSIASINYA DENGAN MASĀDIR AL-AHKĀM DAN AL-ADILLAH ASY- SYARĪAH"

Posting Komentar